Sabtu, Juni 25, 2011

Satu Jam Sebelum Rindu




Dan adakah yang lebih indah namun menyedihkan di saat yang bersamaan, selain rindu yang tak berlabuh?

Di suatu siang. Di bulan Agustus. Sepuluh tahun lalu.

Hanya sendiri di ruang senat, aku merapikan berkas yang berserakan di lantai. Lima menit lagi aku janjian dengan Armie menghadap Pembantu Dekan untuk menggolkan acara unggulan departemenku, Dialog Seni Peradaban. Proposal sudah siap. Aku memandang kembali hasil print terakhir. Aku tersenyum. Puas! Tidak percuma lembur semalaman.

Aku masih terbayang rapat panitia dua hari lalu. Dengan semena-mena Armie, sang ketua panitia memberi titah. “Proposal, 2 hari. Izin acara, 1 hari. Konfirmasi pengisi acara, 7 hari. Pisang goreng, 10 ribu. Laksanakan!” Rasanya mau kulempar sepatu ke arahnya. Tapi Armie cuma nyengir kuda, membiarkan kami anak buahnya kasak kusuk dengan deadline-nya yang tidak masuk akal.

Kini tanggung jawabku membuat proposal sudah selesai. Aku merapikan letak kerudung. Aku sengaja memakai gamis hijau perdu dan kerudung putih favoritku. Aku mematut diri ke kaca jendela. Cantiknya aku! Hari ini bakal jadi sempurna, batinku.

Tapi ternyata aku terlalu cepat membuat kesimpulan, karena sedetik kemudian lelaki itu muncul. Mengacaukan segalanya.

Wajahnya muncul di jendela, tepat di jendela yang sama aku berkaca dengan sia-sia berusaha menghilangkan sisa jerawat di hidungku. Ia tersenyum. Aku membalas dengan senyum salah tingkah luar biasa. Dan seperti tak cukup membuatku malu, ia malah masuk ke ruang senat.

“Mbak.” katanya. Meski ia satu angkatan di bawahku, aku selalu tak nyaman dipanggil olehnya mbak. Tapi begitu aku menyimpan hal ini untuk diriku sendiri.

“Iya?” sahutku.

“Mbak... Mbak… Mbak…” “Katanya lagi. Masih tersenyum. Tapi tidak seperti biasa, aku menangkap kilatan nakal di matanya.

“Ya, ada apa?” aku menjawab dengan sedikit syok. Dia tidak pernah memanggil sebanyak itu, dengan cara sehangat ini. Atau.. ini cuma aku yang kegeeran?

Sepertinya ia sadar hanya ada kami berdua di ruang senat itu. Walau ruangan itu sangat terbuka sehingga siapapun yang lewat dapat melihat segala sesuatu di dalam, ia memutuskan untuk duduk di kursi dekat pintu. Seperti biasa, ia menjaga jarak kesopanan.

Namun demikian, aura dirinya memenuhi ruang pandangku. Sepertinya tiba-tiba ruangan yang cukup besar ini dipenuhi dengan wangi bunga. Kuarahkan pandangan ke seisi ruangan. Tidak tampak setangkai pun bunga. Hanya tumpukan dokumen, atribut penyambutan mahasiswa baru, spanduk, meja dan beberapa kursi. Jadi, dimana letak bunga-bunga itu? Aah.. aku menarik napas dalam. Sepertinya bunga-bunga itu hanya ada di dalam kepalaku saja.

Andai saja kamu tahu. Andai kamu bisa merasakan seperti yang kurasakan.

Aku yang tadi begitu bersemangat, begitu hidup dan menguasai diri, kini tiba-tiba seperti terserang parkinson. Kaki dan tanganku gemetaran. Bukannya aku tadi sudah makan siang ya? Tidak mungkin ini gejala karena menahan lapar. Kehadirannya membuatku salah tingkah. Koordinasi anggota tubuhku jadi tidak menentu.

Gemuruh di dada ini, dapatkah kamu mendengarnya?

Ia bersenandung, “Cintaku berlabuh di Majalengka..” Ia terus bersenandung sambil sekali-kali melempar senyum miringnya kepadaku. Entah apa maksudnya. Apakah ini berarti ada seorang wanita di Majalengka sana berhasil memikat hatinya?

Tiba-tiba aku merasa beku. Ah.. aku tidak tahu. Aku coba mengabaikan keberadaannya, mengacuhkan dan berkonsentrasi terhadap apa yang akan kukatakan nanti saat bersama Armie bertemu dengan Pembantu Dekan.

Namun perasaan hangat itu kembali datang saat ia berkata lagi.

”Mbaaaaaaak!”

“Iyaaaaa!’ jawabku kaget.

“Enggak, just say hello aja…”

Sialan. Cuma itu?

Hening. Aku coba memecah suasana dengan menanyakan kabarnya. Ia bertanya kabar kampus. Ia baru pulang setelah sebulan lebih KKN di Majalengka. Aku lalu bercerita tentang kegiatan-kegiatan senat. Ia mengangguk-angguk mendengarkan sambil bertanya sana sini. Dan kemudian tanpa kusadari, ia mengambil alih pembicaraan. Dengan tangkas, ia membeberkan kelemahan senat periode ini. Ia menguraikan satu per satu borok kegiatan yang diadakan oleh senat, sambil tak lupa menyelipkan sindiran pedas tentang proses perekrutan anggota senat yang gagal mengajak semua komponen kampus untuk bergabung.

“Dan kini, setiap kali senat mengadakan kegiatan, hanya satu kelompok mahasiswa yang berpartisipasi. Dalam hal ini saya rasa senat telah gagal.” katanya menutup kesimpulan. Aku mendidih. Sialnya, dia benar. Aku tahu, dia termasuk anggota tim sukses yang berhasil mengantarkan ketua senat yang sekarang terpilih. Meski tidak terlibat langsung dengan kepengurusan senat, ia tetap mengamati dan mengawasi perkembangan senat.

“Dasar kurus, bisanya kritik aja.” Komentarku sebal. Entah darimana keberanian itu datang. Biasanya bila bersama dia, aku lebih banyak diam, mencoba menata hati yang kacau balau oleh kehadirannya.

Ia membalas, ”Iya deh yang badannya lebar.” Ia melirik nakal dan kembali melepas senyum miringnya padaku.

Hoooo. Itu cukup membuatku kaget. Bukan biasanya dia bertingkah seperti itu. Ia yang kukenal adalah pemuda yang luar biasa cerdas sekaligus santun dan alim. Ini seperti bukan dirinya. Benar-benar tidak biasa. Inikah sisi dirinya yang lain? Tapi rasanya aku juga menyukai sisi kepribadiannya yang satu ini.

Ia beranjak keluar ruangan. Ia bersandar pada pagar pengaman, memperhatikan orang lalu lalang di koridor di lantai bawah. Aku menarik napas. Sedikit lega. Setidaknya sihirnya yang mampu membuatku beku, berkurang saat kami tidak seruangan. Dan baru kemudian aku sadar. Aku sudah telat limabelas menit dari janjiku dengan Armie.

Aku buru-buru mengumpulkan semua dokumen dan proposal, memasukkan ke dalam tas gemblok. Sekali lompat, aku sudah berada di luar ruang senat. Aku celingak celinguk mencari sepatu. Aku nyaris melonjak panik ketika menemukan dia sedang memegang sepatuku, mempermainkannya sedemikian rupa sambil menatap kosong ke depan.

Dia benar-benar aneh hari ini.

Armie pasang muka jutek karena aku terlambat. Aku segera meminta maaf, nyaris membuatnya mati tercekik ketika aku berusaha memeluknya erat-erat. Untunglah Pembantu Dekan masih bersama dengan tamu sebelumnya. Kami berhasil mendapatkan persetujuannya atas proposal kami. Lumayan, hari ini tidak terlalu buruk. Hari ini pasti sempurna, bila saja lelaki itu tidak muncul di ruang senat tadi.

Selesai mendapatkan ACC Pembantu Dekan, aku kembali ke ruang Senat. Aku masih harus mem-print surat undangan untuk para pengisi acara. Sungguh malang nasibku, dia masih disana. Sendiri, tampak asyik dengan lamunannya.

Apakah yang kamu pikirkan saat ini?

Tanpa berniat mengganggu lamunannya, aku beranjak masuk ruang senat. Mataku terpaku pada selembar kartu yang tergeletak di lantai. Aku memungutnya. Ternyata itu adalah KTM miliknya.

“Hei, KTM-mu jatuh nih. Awas ketinggalan.”

Perlahan dia mendekat, mengambil KTM-nya dri tanganku lalu berkata,” Nah ya Mbak, kok KTM-ku ada sama Mbak? Mau di-fotokopi ya Mbak, KTM-ku. Nge-fans aku ya?”

Whaaat?

Dan seperti ingin melengkapi keanehan hari ini, kembali ia memanggilku.

“Mbaaaaak!”

“Ada apa sih, dari tadi mbak mbak melulu.”

“Mending lulusnya tahun depan saja..”

“Hei, kamu kok ngedoainnya kayak gitu, nyindir ya?” Teman-teman seangkatanku sebagian besar sudah pada lulus. Aku jadi agak sensi kalau bicara soal lulus kuliah.

Dia menggeleng,” Maksudku, sekalian tahun saja Mbak lulus saat Mbak sudah punya pasangan. Aku lulus tahun depan loh.”

Aku ternganga.

Maksudnya? Aku dan kamu, gitu?

**

Aku masih ingat detail di siang itu. Hanya sejam. Namun mampu meninggalkan bekas yang dalam di hati. Aku mengingatnya sebagai hari yang hangat, hari dimana aku begitu dekat dengan sosok yang aku kagumi. Hari di saat udara begitu manis dan dipenuhi aroma wangi bunga.

Hari dimana aku sadar cinta adalah wajahnya hadir dalam mimpi berkepanjanganku.

Tapi rupanya, itu adalah sejam terakhir sebelum rindu. Sejam terakhir kali aku melihatnya. Setelah siang itu, sosoknya tak pernah kulihat lagi di antara riuhnya kampus.

Kamu dimana?

Tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang dia cuti. Ada yang bilang ia tak melanjutkan kuliah lagi karena tak ada biaya. Satu yang pasti, hingga kini aku tak pernah melihatnya lagi.

Melihat tindak tanduknya saat itu, seharusnya aku tahu dia sedang menghadapi masalah berat. Andai saja aku mampu menepikan semua perasaan, mungkin aku bisa bertanya, ”Ada apa denganmu?”

Dan mungkin saja dengan begitu, lepaslah semua beban di pikirannya. Lalu dia melihat cahaya dan urung menghilang dari dunia… dari duniaku.

Begitulah, ia menghilang begitu saja. Tak ada cerita. Tak ada kabar. Tak ada apapun. Sedihnya, ia membawa hatiku bersamanya, meninggalkanku semacam luka bernama rindu.

Hingga kini.


created by:
kiki and me

Rabu, Juni 22, 2011

Hanya Seperlima Detik

Hanya seperlima detik
Dua belas wilayah otak seketika panik
Huru hara
Eforia
Suntikkan vasopression, oksitosin
Lepaskan dopamin
Pacu adrenalin


Adalah perasaan tak keruan meraja di hati
Derap liar jantung menggelepar
Dan sensasi geli yang luar biasa aneh pada perut


Cuma butuh seperlima detik
Sejak anggun dirinya tertangkap mata
Sampai dengan tubuh bereaksi menggila
Ah... begitulah cinta
Pada pandangan pertama

Minggu, Juni 19, 2011

Saat Aku Satu Bis Dengan Esbeye














Suatu saat aku satu bis dengan Esbeye
dalam suatu perjalanan menuju Pare-Pare.
Hai Tuan Presiden. Apa kabar?
Ssst, jangan panggil begitu. Aku sedang menyamar
Ia menurunkan topi bundar yang dikenakan
hingga matanya hilang dari penglihatan.

Bis berhenti.
Pare-pare tiga jam lagi.
Penumpang berebut keluar
memulung oksigen dari udara yang terbakar.

Mari Tuan, kita sejenak minum kopi.
Ia beranjak tanpa melepas tas kerja yang dipeluknya sedari tadi.
Aku lalu bertanya kepadanya tentang perjalanan
dan makanan yang ia makan.
Tentang Paspampres yang tak terlihat melindungi
dan hujan yang berbulan-bulan alpa mengunjungi negeri.

Apa kabarnya Jakarta? tanyaku ingin tahu.
Biasa. Hiruk pikuk. Terlalu banyak politisi.
Bahkan untuk ukuran negara yang besar ini.
Bukankah bagus? komentarku segera.
Ya, bila mereka tak lupa mengenakan otaknya sebelum berangkat kerja.

Mengapa Tuan disini?
Mengapa tidak, ini Indonesia juga.
Tidakkah banyak urusan di Jakarta?
Urusan selalu banyak, kawan.
Keberanian untuk tidak terikat dengan itu semua
merdeka dalam membuat pilihan
semata atas nama kebaikan dan keadilan
itu yang langka.

Aku disini untuk menemukan
keberanian semacam itu.

Aku tertawa. Keras sekali. 
Air mengucur dari mataku tanpa bisa kucegah.
Ia menatapku. Kurasa ia marah.
Maka segera setelah reda badai tawa
aku berbisik kepadanya.


Tak perlu mencari jauh-jauh, Tuan
dia ada disini.
Aku menepuk dadanya dua kali.
Orang menyebutnya nyali
kataku, lalu beranjak pergi.


Begitulah, suatu saat aku satu bis dengan Esbeye
dalam suatu mimpi menuju Indonesia.

Rabu, Juni 15, 2011

Butiran Bintang












ku tak tahu
yang terjadi sebelum itu
yang terlihat
hanyalah kesedihan yang pekat
melekat
erat
karena hatimu patah
seperti bunga yang lelah
layu
membiru
di pucuk waktu


karena rindumu menggema
di ruang kosong bernama cinta
tak kau temukan tempat bertaut
enggan kau beringsut
kau takut


maka bolehkah aku untuk sekejap, gadis kecil
menghibur luka-luka
lewat celoteh tak penting
setoples klanting
dan humor yang gersang kering

izinkan aku untuk sekejap, gadis kecil
memintal udara
ku jadikan ia
sayap bagimu tuk terbang
lalu kau terbang
kau pungut butiran bintang


karena bahagiamu, itu yang penting kini

Kamis, Juni 09, 2011

Engkau Pengecualian












saat ku masih sangat muda
ku saksikan ayah bergemuruh
mengutuk angin
dia patahkan hatinya sendiri
lalu ku saksikan ia
merangkainya kembali
dan ibuku bersumpah
tak mengijinkan dirinya
untuk pernah lupa

hari itulah hari saat aku berjanji
ku takkan senandungkan lagu cinta
bila cinta tak hadir

tapi kasih
engkau pengecualian
engkau pengecualian
engkau pengecualian
engkau pengecualian

mungkin aku tahu
di suatu tempat jauh di dalam hati
cinta tak pernah bertahan
sehingga ku mencari jalan
biarkan cinta sendirian
atau aku pertahankan
wajah tanpa rasa
begitulah ku jalani hari
menjaga jarak nyaman
dan hingga kini
aku bersumpah pada diri sendiri
aku dimuati sepi

karena cinta
tak sebanding dengan resikonya

tapi kasih
engkau satu-satunya pengecualian
engkau satu-satunya pengecualian
engkau satu-satunya pengecualian
engkau satu-satunya pengecualian

ku memahami kenyataan
tapi ku tak mampu lepaskan
apa yang kini ada di hadapan
aku tahu engkau pergi saat pagi
di kesempatan pertama saat engkau terbangun
tinggalkan aku sesuatu semacam bukti
ini bukan mimpi

tapi kasih
engkau pengecualian
engkau pengecualian
engkau pengecualian
engkau pengecualian

dan kini ku memulai perjalanan tuk percaya
dan kini ku memulai perjalanan tuk percaya

(suka2nya gw menyadur The Only Exception-nya Paramore)

Selasa, Juni 07, 2011

Maafkan Aku, Tapi Engkau Semua Itu











Maafkan aku, tapi engkau taman hiburanku
Maafkan aku, tapi engkau komidi putar, lagu pasar malam, dan sirkus satwa
Maafkan aku, tapi engkau novel terbaik yang pernah kubaca
Maafkan aku, tapi engkau permen terlezat yang pernah dibuat
Maafkan aku, tapi engkau sidang paripurna huru hara sekaligus opera van java
Maafkan aku, tapi engkau segelas teh hangat di pagi hari selepas hujan semalaman
Maafkan aku, tapi engkau senandung cinta di dalam kepala



Maafkan aku, tapi engkau semua itu

Sabtu, Juni 04, 2011

Ketika Aku Ketemu Kamu














Ketika aku ketemu kamu
Aku akan berkata,
“Hei Jeng, kemana aja…?
Bertahun-tahun ku mencarimu, Cinta!
Dimana sih kamu sembunyi selama ini?
Jangan bilang ngumpet dalam lemari
Kamu pasti bohong, disitu sudah kucari”


Ketika aku ketemu kamu
Aku kan menggenggam tanganmu lembut
Lalu menyeka wajahmu yang berkabut
oleh air mata
“Tenang…
Aku tak punya rencana kemana-mana
Hanya ingin bersamamu saja
Mari sini, ku pegangin sedih dan dukamu
Ku taruh di dalam dompet agar kamu tahu
Aku membawanya kemana-mana bersamaku”


Ketika aku ketemu kamu
Akan akan berbisik kepada Pak Penghulu,
“Beneran nih Bos, sudah sah?
Pencarian ribuan waktu berakhir sudah?”
Lalu akan menyimpan kepingan indah kenangan itu
Pak Penghulu berkata bijak sambil menepuk punggungku,
“Bego bener sih lu.. sudah sah, tau!”


Ketika aku ketemu kamu
Dan siang yang hiruk pikuk sudah berlalu
Tinggal aku, kamu serta malam yang syahdu
Aku berjanji tak akan berjanji
Bersamamu sehidup semati
Atau mencintaimu selamanya tak akan berkurang
Aku akan melakukan apapun agar kamu senang
Selalu


Sebaliknya aku berkata,
“Aku akan berusaha
Mari doa sama-sama aku tetap perkasa
Meski Asmirandah artis jelita itu datang menggoda
Atau sekretarisku Si Marni yang seksi
Bilang, ‘yuuuk, mariiii!’
Atau aku kejedot tiang
Lalu berkata ide di otakku yang karatan
Bahwa Tora Sudiro sungguh menawan
Boooo!”


Kamu tahu aku bercanda
Karena betapapun aku berusaha
Melapis mataku dengan semburat jenaka
Tak dapat aku menutupi
Rindu yang berlabuh
Berabad-abad dalam gemuruh keruh
Sakit yang tak kunjung sembuh

Ketika aku ketemu kamuh
Ketika itulah aku utuh


Karena ketika akhirnya aku ketemu kamu
Adalah anugerah Tuhan yang paling biru
Yang selamanya
Di hati selamanya begitu

Tapi, aku belum ketemu kamu