Dan adakah yang lebih indah namun menyedihkan di saat yang bersamaan, selain rindu yang tak berlabuh?
Di suatu siang. Di bulan Agustus. Sepuluh tahun lalu.
Hanya sendiri di ruang senat, aku merapikan berkas yang berserakan di lantai. Lima menit lagi aku janjian dengan Armie menghadap Pembantu Dekan untuk menggolkan acara unggulan departemenku, Dialog Seni Peradaban. Proposal sudah siap. Aku memandang kembali hasil print terakhir. Aku tersenyum. Puas! Tidak percuma lembur semalaman.
Aku masih terbayang rapat panitia dua hari lalu. Dengan semena-mena Armie, sang ketua panitia memberi titah. “Proposal, 2 hari. Izin acara, 1 hari. Konfirmasi pengisi acara, 7 hari. Pisang goreng, 10 ribu. Laksanakan!” Rasanya mau kulempar sepatu ke arahnya. Tapi Armie cuma nyengir kuda, membiarkan kami anak buahnya kasak kusuk dengan deadline-nya yang tidak masuk akal.
Kini tanggung jawabku membuat proposal sudah selesai. Aku merapikan letak kerudung. Aku sengaja memakai gamis hijau perdu dan kerudung putih favoritku. Aku mematut diri ke kaca jendela. Cantiknya aku! Hari ini bakal jadi sempurna, batinku.
Tapi ternyata aku terlalu cepat membuat kesimpulan, karena sedetik kemudian lelaki itu muncul. Mengacaukan segalanya.
Wajahnya muncul di jendela, tepat di jendela yang sama aku berkaca dengan sia-sia berusaha menghilangkan sisa jerawat di hidungku. Ia tersenyum. Aku membalas dengan senyum salah tingkah luar biasa. Dan seperti tak cukup membuatku malu, ia malah masuk ke ruang senat.
“Mbak.” katanya. Meski ia satu angkatan di bawahku, aku selalu tak nyaman dipanggil olehnya mbak. Tapi begitu aku menyimpan hal ini untuk diriku sendiri.
“Iya?” sahutku.
“Mbak... Mbak… Mbak…” “Katanya lagi. Masih tersenyum. Tapi tidak seperti biasa, aku menangkap kilatan nakal di matanya.
“Ya, ada apa?” aku menjawab dengan sedikit syok. Dia tidak pernah memanggil sebanyak itu, dengan cara sehangat ini. Atau.. ini cuma aku yang kegeeran?
Sepertinya ia sadar hanya ada kami berdua di ruang senat itu. Walau ruangan itu sangat terbuka sehingga siapapun yang lewat dapat melihat segala sesuatu di dalam, ia memutuskan untuk duduk di kursi dekat pintu. Seperti biasa, ia menjaga jarak kesopanan.
Namun demikian, aura dirinya memenuhi ruang pandangku. Sepertinya tiba-tiba ruangan yang cukup besar ini dipenuhi dengan wangi bunga. Kuarahkan pandangan ke seisi ruangan. Tidak tampak setangkai pun bunga. Hanya tumpukan dokumen, atribut penyambutan mahasiswa baru, spanduk, meja dan beberapa kursi. Jadi, dimana letak bunga-bunga itu? Aah.. aku menarik napas dalam. Sepertinya bunga-bunga itu hanya ada di dalam kepalaku saja.
Andai saja kamu tahu. Andai kamu bisa merasakan seperti yang kurasakan.
Aku yang tadi begitu bersemangat, begitu hidup dan menguasai diri, kini tiba-tiba seperti terserang parkinson. Kaki dan tanganku gemetaran. Bukannya aku tadi sudah makan siang ya? Tidak mungkin ini gejala karena menahan lapar. Kehadirannya membuatku salah tingkah. Koordinasi anggota tubuhku jadi tidak menentu.
Gemuruh di dada ini, dapatkah kamu mendengarnya?
Ia bersenandung, “Cintaku berlabuh di Majalengka..” Ia terus bersenandung sambil sekali-kali melempar senyum miringnya kepadaku. Entah apa maksudnya. Apakah ini berarti ada seorang wanita di Majalengka sana berhasil memikat hatinya?
Tiba-tiba aku merasa beku. Ah.. aku tidak tahu. Aku coba mengabaikan keberadaannya, mengacuhkan dan berkonsentrasi terhadap apa yang akan kukatakan nanti saat bersama Armie bertemu dengan Pembantu Dekan.
Namun perasaan hangat itu kembali datang saat ia berkata lagi.
”Mbaaaaaaak!”
“Iyaaaaa!’ jawabku kaget.
“Enggak, just say hello aja…”
Sialan. Cuma itu?
Hening. Aku coba memecah suasana dengan menanyakan kabarnya. Ia bertanya kabar kampus. Ia baru pulang setelah sebulan lebih KKN di Majalengka. Aku lalu bercerita tentang kegiatan-kegiatan senat. Ia mengangguk-angguk mendengarkan sambil bertanya sana sini. Dan kemudian tanpa kusadari, ia mengambil alih pembicaraan. Dengan tangkas, ia membeberkan kelemahan senat periode ini. Ia menguraikan satu per satu borok kegiatan yang diadakan oleh senat, sambil tak lupa menyelipkan sindiran pedas tentang proses perekrutan anggota senat yang gagal mengajak semua komponen kampus untuk bergabung.
“Dan kini, setiap kali senat mengadakan kegiatan, hanya satu kelompok mahasiswa yang berpartisipasi. Dalam hal ini saya rasa senat telah gagal.” katanya menutup kesimpulan. Aku mendidih. Sialnya, dia benar. Aku tahu, dia termasuk anggota tim sukses yang berhasil mengantarkan ketua senat yang sekarang terpilih. Meski tidak terlibat langsung dengan kepengurusan senat, ia tetap mengamati dan mengawasi perkembangan senat.
“Dasar kurus, bisanya kritik aja.” Komentarku sebal. Entah darimana keberanian itu datang. Biasanya bila bersama dia, aku lebih banyak diam, mencoba menata hati yang kacau balau oleh kehadirannya.
Ia membalas, ”Iya deh yang badannya lebar.” Ia melirik nakal dan kembali melepas senyum miringnya padaku.
Hoooo. Itu cukup membuatku kaget. Bukan biasanya dia bertingkah seperti itu. Ia yang kukenal adalah pemuda yang luar biasa cerdas sekaligus santun dan alim. Ini seperti bukan dirinya. Benar-benar tidak biasa. Inikah sisi dirinya yang lain? Tapi rasanya aku juga menyukai sisi kepribadiannya yang satu ini.
Ia beranjak keluar ruangan. Ia bersandar pada pagar pengaman, memperhatikan orang lalu lalang di koridor di lantai bawah. Aku menarik napas. Sedikit lega. Setidaknya sihirnya yang mampu membuatku beku, berkurang saat kami tidak seruangan. Dan baru kemudian aku sadar. Aku sudah telat limabelas menit dari janjiku dengan Armie.
Aku buru-buru mengumpulkan semua dokumen dan proposal, memasukkan ke dalam tas gemblok. Sekali lompat, aku sudah berada di luar ruang senat. Aku celingak celinguk mencari sepatu. Aku nyaris melonjak panik ketika menemukan dia sedang memegang sepatuku, mempermainkannya sedemikian rupa sambil menatap kosong ke depan.
Dia benar-benar aneh hari ini.
Armie pasang muka jutek karena aku terlambat. Aku segera meminta maaf, nyaris membuatnya mati tercekik ketika aku berusaha memeluknya erat-erat. Untunglah Pembantu Dekan masih bersama dengan tamu sebelumnya. Kami berhasil mendapatkan persetujuannya atas proposal kami. Lumayan, hari ini tidak terlalu buruk. Hari ini pasti sempurna, bila saja lelaki itu tidak muncul di ruang senat tadi.
Selesai mendapatkan ACC Pembantu Dekan, aku kembali ke ruang Senat. Aku masih harus mem-print surat undangan untuk para pengisi acara. Sungguh malang nasibku, dia masih disana. Sendiri, tampak asyik dengan lamunannya.
Apakah yang kamu pikirkan saat ini?
Tanpa berniat mengganggu lamunannya, aku beranjak masuk ruang senat. Mataku terpaku pada selembar kartu yang tergeletak di lantai. Aku memungutnya. Ternyata itu adalah KTM miliknya.
“Hei, KTM-mu jatuh nih. Awas ketinggalan.”
Perlahan dia mendekat, mengambil KTM-nya dri tanganku lalu berkata,” Nah ya Mbak, kok KTM-ku ada sama Mbak? Mau di-fotokopi ya Mbak, KTM-ku. Nge-fans aku ya?”
Whaaat?
Dan seperti ingin melengkapi keanehan hari ini, kembali ia memanggilku.
“Mbaaaaak!”
“Ada apa sih, dari tadi mbak mbak melulu.”
“Mending lulusnya tahun depan saja..”
“Hei, kamu kok ngedoainnya kayak gitu, nyindir ya?” Teman-teman seangkatanku sebagian besar sudah pada lulus. Aku jadi agak sensi kalau bicara soal lulus kuliah.
Dia menggeleng,” Maksudku, sekalian tahun saja Mbak lulus saat Mbak sudah punya pasangan. Aku lulus tahun depan loh.”
Aku ternganga.
Maksudnya? Aku dan kamu, gitu?
**
Aku masih ingat detail di siang itu. Hanya sejam. Namun mampu meninggalkan bekas yang dalam di hati. Aku mengingatnya sebagai hari yang hangat, hari dimana aku begitu dekat dengan sosok yang aku kagumi. Hari di saat udara begitu manis dan dipenuhi aroma wangi bunga.
Hari dimana aku sadar cinta adalah wajahnya hadir dalam mimpi berkepanjanganku.
Tapi rupanya, itu adalah sejam terakhir sebelum rindu. Sejam terakhir kali aku melihatnya. Setelah siang itu, sosoknya tak pernah kulihat lagi di antara riuhnya kampus.
Kamu dimana?
Tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang dia cuti. Ada yang bilang ia tak melanjutkan kuliah lagi karena tak ada biaya. Satu yang pasti, hingga kini aku tak pernah melihatnya lagi.
Melihat tindak tanduknya saat itu, seharusnya aku tahu dia sedang menghadapi masalah berat. Andai saja aku mampu menepikan semua perasaan, mungkin aku bisa bertanya, ”Ada apa denganmu?”
Dan mungkin saja dengan begitu, lepaslah semua beban di pikirannya. Lalu dia melihat cahaya dan urung menghilang dari dunia… dari duniaku.
Begitulah, ia menghilang begitu saja. Tak ada cerita. Tak ada kabar. Tak ada apapun. Sedihnya, ia membawa hatiku bersamanya, meninggalkanku semacam luka bernama rindu.
Hingga kini.
created by:
kiki and me
Tidak ada komentar:
Posting Komentar