Jumat, Februari 25, 2011

Pergi

kau ingin pergi
mundur dan tak kembali


baiklah
aku mengerti
tak kuasa kau berlari
tak kuasa kau menari


sejatinya engkau melati
sejatinya engkau kolibri
tapi tak sanggup kau mengatasi
pertempuran dalam hati


silahkan pergi
aku tetap disini
menunggu pagi
menunggu matahari

Kamis, Februari 24, 2011

Pulang

Tak dapat aku menolak mata sedihmu
Pulanglah pak, begitu katamu


Tak dapat aku meraba luka-luka hati
Pulanglah pak, begitu katamu


Tak dapat aku mengukur dalamnya kecewa
Tak kuasa aku melihat punggungmu
Yang berlalu ke dalam pintu
Seiring pecahnya rindu


Pulanglah pak, begitu katamu
sendu

bunga

halo bunga
apa kabar?
senang rasanya melihat tawa
di matamu yang mekar


boleh aku duduk menemani?
aku ingin bercerita tentang hujan
mengenai cintanya yang dalam kepada bumi
dan rindu membiru tuk memeluk lautan


petang kemudian tiba
aku harus pergi, bunga
mengakrabi malam
menikam sepi
menyimpan mimpi


sampai jumpa esok hari

Maukah Kau Meninggalkan Kota Di Hati Kita?

Maukah kau meninggalkan kota di hati kita?


Bersamaku
Tinggalkan padatnya manusia
Tinggalkan deadline- deadline
Tinggalkan peraturan-peraturan yang tak masuk akal
Tinggalkan cicilan rumah dan tagihan kartu kredit
Tinggalkan pekerjaan memuakkan dan bos sakit jiwa
Tinggalkan kemacetan yang melumpuhkan syaraf tulang belakang
Tinggalkan gaya hidup yang tidak menghidupkan
Tinggalkan nafsu-nafsu kota
Tinggalkan keramaian
Tempat kita merasa paling sepi dibanding sepi-sepi di tempat lain dimana pun di dunia


Kita ajak hati kita
pergi ke sebuah rumah mungil
Udara terbuka tak terhalang gedung tinggi
Desa di kaki bukit
Sungai kecil mengalir di belakang rumah
Anak-anak kita berlari bebas
Meninggalkan galau di loteng berdebu
Kita berdansa di bawah bintang dan awan
Seperti sepasang merpati kalap cinta


Bersamaku
Maukah kau meninggalkan kota di hati kita?

Rabu, Februari 16, 2011

Kenangan Tentang Sebuah Rumah














aku masih ingat sebuah rumah
yang dipenuhi suara anak kecil
dan bising televisi
mama sering membuat sepanci besar bubur
dan meski sangat lezat
perut lapar kami jarang terhibur


aku masih ingat dinding rumah itu
yang tak sejengkal pun selamat
dari coretan absurd tangan-tangan mungil
dan meski berat kehidupan menghimpit tulang dadanya
mama tak pernah kehabisan cinta untuk kami
tak pernah sedikit pun


sampai pada suatu ketika di malam yang cerah
saat langit telanjang menunjukkan keindahannya
mama menggiring kami ke luar rumah
lalu membiarkan kami memilih bintang kami sendiri
bintang yang kemudian kami beri nama
cita-cita


saat itulah aku sadar


tak ada bintang yang secantik kilau cahaya
yang memantul dari air mata mama
air mata untuk kami