Sabtu, Februari 21, 2009

Hikayat Kucing dan Putri Kutilang

Bidadari, kau suka puisi?
kusajakkan untukmu puji-pujian
menyamakan dirimu dengan keindahan alam
dan suara bening hati

Bidadari, jika kau suka puisi
kupetikkan satu untukmu
dari benak yang berkata-kata
hikayat putri yang menyulam sehelai mimpi
dari rambut dan lelehan besi

putri itu bagai kutilang yang dibui
terpasung sangkar emas
dan tipu-tipu lelaki
maka ia hanya duduk menyulam harapan
mengurai dan menyulamnya kembali
ratapnya serupa tangisan bumi
karena kutilang hakikatnya bebas dan mandiri

konon, datang sang pangeran
dalam wujud yang putri paling benci
seekor kucing garong berbau memualkan indera
dengan kunci dan peta menuju dunia

"kau harus menikahiku.
kuserahkan kunci dan peta ini."

bagaimana mungkin putri bisa memenuhi syarat itu, duhai Bidadari?
melepaskan diri dari gigitan harimau
menuju dekapan serigala

"kalau kau memang cinta"
lirih sang putri berkata,
"sesungguhnya cinta tak mengenal
syarat dan imbal jasa."

"tapi cinta mengenal hati yang pedih
dan luka yang menganga"
kucing garong berkata
lalu menyerahkan kunci dan peta

sang putri bebas. menghirup udara
dan terbang sebagaimana kutilang

"kucing tak mencintai kutilang" seru sang putri
"tapi memangsanya"

"tapi cinta tak mengenal logika" bisik kucing garong
menghibur luka hatinya

mereka lalu berpisah bagaikan selamanya

Bidadari, dengarkan suara-suara ini
hujan. langit. petir. kemarau.
bumi. badai. samudera. hijau.
napas rembulan, senyum matahari.
detik. hari. tahun. abad. mati.

sang putri mengikuti kata hati
menikahi pria yang dicintainya
berpuluh tahun hidup berkeluarga
anak, cucu, dan keriput usia
sang putri meninggal bahagia

sang kucing melindungi dari jauh
merapal doa-doa
saat sang putri bercita-cita
menghirup kesedihan sang putri
dengan dendang serupa mantra
semua. semua untuk kebaikan kekasih hati, tanpa sang putri sadari

dan Bidadari, kisah kini berakhir dengan sang kucing yang menunggui
pusara sang putri
legenda yang abadi
sang kucing tak dapat mati
bagaimana mungkin ia bisa mati
sembilan nyawa dan cintanya yang maha itu
enggan beranjak pergi

adilkah dunia ini?
haruskah selalu ada mereka
yang dirajam sepi sepi sepi

ah... makanya ini puisi, Bidadari
seperti halnya kehidupan
puisi bukan tentang benar atau salah
adil atau tidak adil

puisi itu menerima diri sendiri
berdamai dengan kenyataan
meski pedih bersemayam abadi

Bidadari, kau suka puisi?
aku tidak, tapi bagaimana lagi
 kehidupan itu puisi

Tentang Tahun Baru

Tahun baru
Kukira langit jadi ijo
Atau bulan berubah kotak
Ternyata masih sama
Seperti hari kemarin
Dan akan tetap sama
Di hari-hari mendatang

Lalu mengapa manusia memenuhi jalan-jalan
Pesta-pesta digelar
Terompet ditiup dalam nada suka cita
Yang mendunia
Televisi berlomba meliput secara ”live”
Sejenak ekonomi berkontraksi
Karena konsumsi yang melonjak
Untuk makanan kecil, minuman, dan kesia-siaan

Kukira manusia selalu terpesona pada angka-angka

”Ini adalah momen
Saat untuk merenungi masa lalu
dan meninjau lagi harapan”

tak bisakah kita buat momen itu
setiap hari
setiap waktu
disini, di dalam benak kita

Apa yang kau peringati kawan?

Perbuatan masa lalu yang megah
Atau berusaha menutupi kekalahan
Cita-cita yang terwujud
Atau harapan yang tereduksi

Lalu kesia-siaan itu berakhir di waktu pagi
Wajah-wajah penat
Sampah dan puing-puing perayaan
Lalu kita mendengar napas-napas yang tertahan
Karena hari ini belum tahu apa masih bisa makan
Lalu kita menyaksikan peperangan seperti drama komedi
Kepedihan itu nyata di layar televisi

Tahun baru!
Heh...tahun yang kita sebut lama
Baru setahun lalu kita rayakan sebagai tahun baru