Jumat, Desember 24, 2010

Sebuah Dunia Tanpa Seorang Ibu









Mari sejenak bayangkan sebuah dunia
Tanpa seorang ibu bagi setiap kita



Bayangkan hampa yang tercipta
Dari keadaan tiadanya cinta
Bayangkan sepi yang menggigit
Dan betapa buramnya tepi langit



Kita akan membutuhkan semua keberanian yang kita punya
Agar bisa sekedar menjalani hidup hari demi hari
Dan meski begitu tetap saja kita
Gagal mengenali manusia di dalam diri



Mari sejenak bayangkan dunia yang tidak mungkin itu
Dan betapa beruntungnya kita mempunyai seorang ibu

Kamis, Desember 16, 2010

Sejatinya Lelaki

semoga diri ini
dianugerahi sejatinya lelaki
yg ketika ia berkata, ini pilihanku
ia tetap begitu
...sampai akhir waktu


semoga Tuhan jadikan aku
lelaki itu

Selasa, November 23, 2010

istriku, maaf aku mengibulimu








istriku maaf aku mengibulimu
kubilang engkau cantik
maaf, itu dusta
wanita mana yang tahan dipuji dan dipuja


kubilang engkau bak dian sastro
maaf, itu bohong juga
dian sastro bibirnya tidak berlebih
kulitnya tidak kusam
dan napasnya tidak bau cucian


kubilang engkau satu-satunya yang pernah ada di hati
maaf lagi,
pernah ada erna, ratih, cici
liza, retno, nisa, dwi
ika, dewi, dinda, bahkan arianti
sahabat dekatmu sendiri


istriku, maaf aku mengibulimu
lagi, lagi dan lagi
aku terpaksa


”kaulah yang paling mengerti aku”
bul kibal kibul itu
kau selalu
menghidangkan aneka olahan tahu
lalu ku proklamirkan sebagai kesukaanku
(padahal diam-diam kuberikan kepada bleki anjing piaraanmu)


”aku tak bisa hidup tanpamu”
bohong, sangat bohong sekali
karena untuk hidup
cukup makan 3 kali sekali
hotspot, blackberry
dan rekening bank yang penuh terisi


kubilang engkau baik
sejujurnya itu asal bicara saja
toh semua orang juga baik
aming baik
tessy juga baik
tidak lantas membuatku ingin menikahi mereka
kan?


istriku, maaf aku mengibulimu
sehingga kau jadi milikku


karena aku tak tahu lagi
bagaimana cara mengisi kosong hati ini
setiap kali
kau menghilang dari
pandanganku


tak tahu ku cara mengusir sepi
saat kau tak ada di sisi


....hingga kini

Ketika Kentut Dipertanyakan


Ketika kentut dipertanyakan
Apakah dut, ataukah bret
Ketika suaranya menggemparkan media massa
Seakan-akan akhir dunia, puncak segala puncak
Ketika baunya menjadi analisis pengamat politik
Yang tadinya busuk menjadi sesuatu yang menggelitik
Seolah-olah cerdas
Seolah-olah emas

Ketika kentut diperdebatkan
Di seminar-seminar, forum diskusi
Di gedung rakyat, di talkshow televisi
Apakah dut, ataukah bret
Menjadi tema ngobrol di warung kopi
Menjadi tren topik twitter
Mengisi sepanjang dinding facebook
Menjadi jualan andalan para makelar suara
Sesuatu yang manis untuk membujuk rakyat
Meninabobokan para ulama

lalu kentut diregulasi
Menjadi agama baru
Harapan perdamaian bumi
Tatanan dunia baru
Ketika kentut bertransformasi menjadi falsafah hidup
Merasuk ke dalam konstitusi
Mereka mencekoki rakyat dengan lagu kebangsaan
Jayalah republik kentut

apakah dut, ataukah bret?
Catatan penguasa dimana saja mengatakan:
beri sesuatu yang bau
Biarkan rakyat sibuk membahas
Dukung mendukung, berpecah belah
Biarkan rakyat begitu
Rakyat akan lupa
seberapa banyak kita
telah mengambil dari mereka

Jumat, November 19, 2010

Cintaku Sekedar Bunyi-bunyian

kau bilang:

cinta itu pembuktian
cinta itu memiliki separuh nyawa
bernama pengorbanan

maka pikirku berkelana
mengumpulkan cuplikan peristiwa ibrahim
dan sebilah pisau di leher ismail

di tangan mereka
cinta menjadi mutiara
bintang kemilau di sejarah semesta
cinta-itu-pembuktian
tak lagi retorika


meski itu berarti
seutas nyawa si buah hati

dibanding cinta mereka
cintaku sekedar bunyi-bunyian

Tok Tok Tok

tok tok tok
pintu kuketuk
boleh aku masuk?


aku di depan pintu
menunggu
ingin memasuki hatimu


jangan takut
aku bukan penjahat akut
bukan pencuri
bukan pula sales door to door yang keras kepala


aku cuma ingin minta diajari
menyayangimu sepenuh hati
sepenuh yang kau suka


aku minta diberitahu
cara memperlakukanmu
seperti yang kau mau


aku tak ingin sekedar bertamu
minum segelas teh
ngobrol ngalor ngidul
lalu berlalu


tapi bertahan di hatimu
tapi berjuang di sampingmu


aku ingin menjadi lelaki
yang mendengar keluhmu
yang membasuh lukamu
yang tawarkan dukamu
yang mendekap gembiramu
yang memapah keraguanmu
yang menuntun hari rentamu
yang melengkapimu
seperti kau melengkapiku
aku ingin semua itu


aku akan berusaha sekuat-kuatnya
seperti yang kamu mau


ajari aku
aku yakin
aku bisa


tok tok tok
pintu kuketuk
tak jua kau ijinkan aku masuk


jawab dong, jangan diam
jangan cuma berkata
tak tahu harus bilang apa
cuma tersenyum
dan bilang terima kasih
telah mengetuk pintu


jangan biarkan lelaki menunggu
di luar hujan deras, tau ;-)
deras seperti hujan di hatiku


bilang saja tidak, aku pasti berlalu
bilang ya, aku akan berusaha
tidak mengecewakanmu


tok tok tok
pintu kuketuk
tolong izinkan aku masuk
aku mulai membusuk

Es Krim Di Terik Hari











pernahkah kau menikmati sebatang es krim
di terik hari
kala haus menggayut kerongkongan


o, segar
dingin
manis
seperti senyummu, dara
kali terakhir kuingat

Senin, November 15, 2010

dik, ini sekotak susu












dik, ini sekotak susu
untuk mengganti kealpaanku
mengetahui keberadaaanmu
setiap hari melewatimu
di lampu merah
tak peduli, tak mau tahu

dik, ini sekotak susu
untuk mengganti napasmu
yang sesak disumpal asap motorku
untuk masa mudamu yang digadai kemiskinan
untuk sejuta serapah yang ku pendam
bagi mereka yang tidak peduli keadaaanmu
sejuta serapah yang kemudian
berbalik ke diriku sendiri

hari ini sekotak susu dariku
esok mungkin gelombang semangat baru
kau bangkit dari keterpurukanmu
lalu lusa mungkin giliranmu
memberikan sekotak susu
kepadaku
siapa tahu?

Jumat, November 12, 2010

Bayi Nova, Burung Nazar, dan Pahlawan Kesiangan

Ahad petang hari di Salemba
Saat aku melihatmu bayi Nova,
Dalam gendongan bunda yang berlinang air mata
Matamu bayi Nova, menatap kosong ke depan,
Seakan faham mengapa bapakmu tiba-tiba lunglai pingsan
di tengah jalan
Memeluk adikmu yang menjerit ketakutan


Bangun Pak!
Kenapa?
Mau kemana?
Belasan manusia mengitari iba.
Ke Cipto, Nova sakit, kata ibumu
Tolong mas, Tolong antarkan
Pinta salah seorang wanita kebingungan


Ayok naik sini, sebuah angkot berhenti
Tolong bawa ya bang, saya dari belakang mengikuti
Supir angkot tancap gas tak ragu lagi
Mengitari Salemba lewat stasiun cikini
Masuk UGD, kuparkir motor sembarang tak peduli
Pikiran kalut diburu firasat buruk di hati


Benar, benar saja
shit@#@#$!
Dalam usiamu yang beranjak tiga
Engkau bayi Nova, sudah lama tiada
Sebelum tiba di rumah sakit
Engkau sudah pergi menuju pelukan Tuhanmu
Sejak engkau berpanas-panas di kampung melayu
Di dalam angkot yang ngetem cari penumpang
Harap maklum supir belum dapat setoran
Setelah menempuh perjalanan nyaris empat jam dari Bogor
Setelah dua hari panas tinggi tak henti menggedor
Setelah bapakmu melepaskan egonya lalu meminjam uang ke sana-sini
Yang hanya cukup untuk pergi, tak cukup untuk kembali


Anak ibu telah meninggal
Sebelum datang kesini
Ibu yang sabar, kata dokter datar
Ibumu, mengusap kepalamu
Dalam tangis yang tertahan di ujung bibir yang bergetar
Dan air mata yang menganak sungai mengharu biru


Bapakmu, pingsan berulang kali
Anak saya ga papa kan pak?
Masih hidupkah?
Tanyanya lemah
Anak bapak sudah meninggal, bapak harus tabah
Bapakmu kembali pingsan, rebah
Kalah


Sudah bang Agus, terima kasih,
Abang supir balik saja, biar saya menemani
Ga papa mas, kata abang supir
Saya tunggu, kesian orang susah
Saya mo nolong ajah
Rumahnya jauh, di bogor sanah
Entar pulang naik apah?
Naik ambulan bisa kena sejutah


Iya juga, kataku dalam hati
Masih ada orang baik di muka bumi ini
Seorang supir angkot, kau tak menyangka
Bisa juga punya hati mulia


Abang tulungin ajah si ibu
Biar bayinya bisa cepet dibawa pulang
Disini lama,berbelit
Yang mudah bisa jadi sulit


Masa’ sih, mana mungkin begitu, pikirku ragu
Rumah sakit kan penuh petugas yang senantiasa siap menolongmu?


Kutatap Hasan bapakmu, Bayi Nova
Koko putih dekil dan celana kotor tiga ukuran lebih besar
Adikmu Sigit mengusap ingus dengan punggung jari
Bayi kumal satu tahun yang belum mengerti tragedi sedang terjadi
Ibumu Aminah menahan tangis dengan ujung kerudung warna warni
Yang kusam melambai menghitung hari


Ini yang kedua, kata ibumu tabah
Kakaknya Nova juga meninggal karena demam berdarah
tiga bulan sebelumnya


Engkau bayi Nova
Punya tumor di kornea mata
Mata kucing istilah ibumu
Karena iris matamu tengah-tengah tak berwarna
Sebulan lalu dioperasi,


Minggu besok seharusnya kemoterapi
Pakai Jamkesmas, kata ibumu
Seakan tahu pertanyaan di kepalaku
Bagaimana membayar semua itu


dan disini, di kamar jenazah
bapakmu berusaha tabah
membuka selubung pembungkus kepala
mencium dirimu bayi Nova
dan berkata
maafkan ayah
maafkan ayah


Aku menelan ludah
Pahit
Tapi tak sepahit kehidupan mereka
Bukan penyakit yang membunuh anak mereka
Tapi kemiskinan yang kuat mendera
Mungkin, jika bapakmu yang tukang kebun punya uang
Kau Bayi Nova, tak perlu berpulang


Kau punya waktu untuk berjuang


Kubayangkan bayi Nova
Lima belas tahun ke depan
Kau punya kesempatan jadi gadis yang cantik
Dengan senyum yang manis
Dan mata palsu yang indah


Agus, Supir angkot setia menemani
Menghibur bapak, memegangi Sigit bayi
Bang, bantuin si ibunya
Begitu usulnya
Kesian, biar cepet pulang
Dan ga kena biaya gede


Kuantar sang ibu mendaftar
Mengurus surat kematian
Dan mengambil jenazah
Lempar sana pingpong sini
Untuk sekedar fucking birokrasi
Begitu berbelitkah di Indonesia
Orang mati saja, urusannya dua jam baru selesai semua


Maghrib
Azan memanggil orang mengingat Tuhannya
Hatiku memanggil kesuciannya


Mayat-mayat membujur di ruang jenazah
Kaki yang kuning tak tertutupi
Bilakah aku menghadap-Mu, duhai Robbi


Mas, kata seorang petugas
Dua puluh lima ribu, mayat sudah dikemas
Tak punya uang, kata ibumu cemas
Namun engkau akhirnya bisa pulang, Bayi Nova
Berkat Jamkesmas
Meski pelayanan serba terbatas


Dan aku terpaku melihatmu, bayi Nova
Di dalam angkot M01
Tubuh kecil dibalut balutan kain batik abu-abu
Ayahmu tabah memangku dirimu
Dan ibumu yang tegar mengukur waktu


Aku tak dapat menemani
Bapak, Ibu, sing sabar ya
Menghadapi cobaaan ini


Abang supir, trima kasih atas bantuannya sampai kini
Saya tak punya uang, hanya lima puluh ribu
Sekedar menambah uang solar
Uang setoran pasti tak terkejar
Mas, ini tidak cukup
Tidak cukup? Kok begitu?
Uang setoran saya dua ratus lima puluh ribu
Lho!!! Bukannya tadi bilang mau membantu
Tapi uang solar aja ga kebeli!
Ya ,gimana? Saya tak punya uang lagi
Tadi mas kan janji akan menjamin
Setan, tadi gw suruh pulang, bilangnya lain
Ya sudah, naik angkot yang lain
Setan, orang kesusahan loe bikin main-main


Bayi Nova
Padamu aku mengadukan
Kelamnya kehidupan
Bahwa burung-burung nazar mencari kehidupan
Tepat di pintu gerbang kematian


Bayi Nova
Aku bersyukur kau telah berpulang ke Sang Pencipta
Matamu yang jernih tak akan ternoda
Dengan ulah hina manusia


Ibumu yang tegar itu berkata
Nanti akan dibayar oleh keluarga
Sesampainya di rumah duka


Maka meluncurlah raga kakumu Bayi Nova
Menuju ke Bogor ke tempat yang sebelumnya kau sebut rumah
Namun kutahu, kini kau bahagia
Terlepas dari keruhnya penjara dunia
Menuju bening cahaya surga
Slamat jalan bayi Nova
Teriring doa untuk kedua orangtua


Dan kini, di atas jok sepeda motor
Aku gundah hatiku tekor
Bisa-bisanya aku tertipu
Ada burung nazar mengincar remah bangkai di sekitarku
Dasar naif, dasar lugu
Dasar pahlawan kesiangan, mau nolong harus professional, tau!
Masa tak bisa membaca gelagat supir brengsek itu!
Untuk tak ketemu ATM, tak kubayarkan uang dua ratus lima puluh ribu
Karena setelah dua jam berlalu
Keluargamu Bayi Nova, menelponku
Bilang si supir angkot tlah tiba
Dan minta empat ratus ribu


Glek.

Mencari Jejak Hawa

Aku ingin memilikimu

Sekuat tekad adam menelusuri ratusan tahun
Mencari jejak hawa yang menguar kuat dari luas samudera pasir
Seolah jiwa adam itu sendiri
Yang tersesat

Senin, November 08, 2010

Mungkin Kita Adalah Wedus Gembel












Mungkin kita adalah wedus gembel
Awan debu panas yang meluncur dari puncak ketidakpedulian kita
Anak-anak jalanan yang berleleran seperti tarian lalat di atas kotoran
Pengemis renta yang menghiasi ruang publik kita
Hanya mendorong kita menunjuk hidung pemerintah atas kegagapan mereka
Lalu kita pulang ke rumah makan dengan nyaman bersama anak istri tercinta

Mungkin kita adalah wedus gembel
Pemujaan kita yang berlebih terhadap benda-benda
Konsumerisme menjadi agama, etalase mall menjadi berhala
Meng-alien-isasi mereka yang tak punya account facebook atau blackberry
Sebagai mereka yang biasa saja, debu dalam pergaulan sehari-hari
Mereka yang biasa saja adalah jutaan minoritas yang sesak napas melihat kemajuan jaman
Sesak napas mengukur betapa mereka jauh ketinggalan
Mereka adalah anak-anak yang ngiler melihat temannya bermain PS atau game online
Sementara ayah ibu mereka menggadaikan nyawa bekerja di bawah upah minimum minim layak kehidupan

Mungkin kita adalah wedus gembel
Yang jadikan mbah maridjan pahlawan gagah perkasa
Kita citrakan dia sebagai benteng terakhir keberanian manusia
Lalu kematiannya yang absurd mungkin saja karena
Ia tak lagi mengenali dirinya di tengah gemerlap lampu sorot media
Keanehan dikomersialisasi, kesalahan diberitakan sebesar-besarnya
Lalu kita melupakan sedikit kebaikan yang berserak dimana-mana
Kita salahkan media massa karena tak bijak membuat berita
Padahal yang mengkonsumsi berita adalah kita
Pilihan ada di tangan kita

Mungkin kita adalah wedus gembel
Awan debu panas yang membunuh manusia sekeliling kita
Karena kita lupa
Bagaimana cara menjadi manusia

Selasa, November 02, 2010

Gombal No 1101
















Aku mencintaimu
Sesederhana itu

Perlukah seutas janji?
Tuk ikat aku
Agar tak lari

Asal kau tahu
Aku bukan kambing jantan
(meski banyak kemiripan)
Tapi aku bisa jadi itu
Jika kau mau

Perlukah sekeranjang bukti?

aku naik ke lantai dua puluh gedung tinggi
Lalu lompat agar kau perduli
Aku takut ketinggian
Tapi aku bisa lakukan itu
Jika kau mau
(Dan asuransi setuju)

Atau kau ingin belah dadaku
Melihat hatiku
Dan tato namamu
Terukir disitu

Bisa saja
Biar kau tahu
Lihat darah aku pingsan
Tapi untukmu, aku bisa bertahan

Karena aku mencintaimu
Sesederhana itu

Kamis, Oktober 21, 2010

laksana langit

di bagian mana dari langit
Tuhan ciptakan hujan

dari air matamu kah, ibu?

demi ujung-ujung daun yang basah dibalut embun pagi
sabarmu ibu
laksana langit, lapang tak bertepi

Minggu, Oktober 17, 2010

Di Sebuah Reuni


kawan,
ada sesuatu yang hangat
saat ku melihat
engkau disini

berapa tahun ya?

bertahun-tahun lewat
dan dirimu kini
bukan dirimu
yang dulu kuingat

kita dulu adalah sosok-sosok berwajah mungil
tapi mimpi kita tak pernah kecil
kita dulu naif dan ingin menang sendiri
tapi tak pernah kita berhenti saling berbagi

berbagi cinta

bertahun-tahun lewat
tapi sesuatu yang hangat itu
sesuatu yang sehangat rindu
masih sama seperti dulu

kawan,
aku senang bertemu denganmu




Jumat, Oktober 15, 2010

Ibukota Sudah Tidak Banjir Lagi (Jangan Cemberut Dong)













Tuan Gubernur
Jangan cemberut dong
Kami cuma bertanya
Bagaimana cara
Banjir enyah
dari Ibukota

Kalau pun kami tertawa
Tak bermaksud tak mengormati Tuan
Atau melecehkan segambreng titel 
di belakang nama Tuan
Suerrr deh!

Kami cuma merasa  lucu
Karena Tuan Gubernur sungguh lucu
“Ini bukan banjir!” kata Tuan menenangkan
“Tapi genangan!”

Huahaha

Pantas Ibukota tak pernah dapat menyelesaikan masalah banjirnya
Karena tak ada banjir di Ibukota
Yang ada
Hanya genangan

Hujan sejam saja
Semarak macet berjam-jam di jalan-jalan utama
Bukan.. bukan banjir
Genangan!

Kendaraan mogok malang melintang
Terendam  air setinggi pinggang
Bukan.. bukan banjir
Genangan!

Infrastruktur rutin rusak
Pengungsi di Ibukota
Rumah terendam
Kegiatan bisnis lumpuh
Ibukota bak kubangan raksasa
Bukan.. bukan banjir
Genangan!

Saya setuju
Ibukota sudah tidak banjir lagi
Karena Ibukota tidak pernah kebanjiran
Hanya genangan!

Jadi Tuan Gubernur
Jangan cemberut dong
Kami cuma bertanya
Bagaimana banjir
atau genangan
atau apalah namanya
enyah selamanya










Doa

Tuhan
Jika tidak merepotkan
Alihkan pandanganku dari dunia yang mempesona
Hadapkan wajahku ke surga yang lebih nyata

Selasa, Oktober 12, 2010

Doa Untuk Saudari











saudariku
semoga engkau selalu
menjadi bagian dari orang beruntung
yang dikelilingi orang-orang baik
yang selalu dikelilingi kebaikan


saudariku
semoga tak sejenak pun dipalingkan dirimu
dari kelembutan yang meliputimu kini
dari cahaya teduh yang memancar dan melindungi
dari kemurahan Ilahi yang penuh memenuhi
ruang hati


saudariku
semoga pagimu adalah senyum matahari
semoga siangmu adalah deru pahlawan menderu
semoga soremu adalah tafakur penuh syukur
semoga malammu adalah penutupan yang baik
akhir sempurna seorang hamba


saudariku
semoga Sang Pemilik Hati
mernghadiahi engkau kebaikan abadi
untuk setiap mereka yang tersesat
mereka yang lalu kau tunjukkan jalan pulang
yang tenang


seperti aku di waktu yang lampau itu



(selamat ulang tahun, mbak….)

Rabu, Oktober 06, 2010

Memori Lembah Harau












dan di lembah harau
di bumi yang selalu pagi
cinta memanggil parau
teringat kekasih hati

lembah yang hijau
sawah di sepanjang kaki
tebing yang menjulang galau
air terjun di tepi
bagai air mata bagi pipi

teringat aku padamu, jelita

karena pertanyaan itu muncul kembali:
“mengapa mencinta
dinista sebagai penyakit hati
tak dapat meraja
tak boleh hadir di diri”

harau.. harau..
tahu-tahu aku di pelukan harau

ah sudahlah, jelita
cinta padamu, biarlah mati
biarkan aku dan harau-ku
biarlah aku merayakan rindu

sendiri

Selasa, September 28, 2010

Bidadari Itu Seperti Itu
















Bidadari itu seperti itu
Tak banyak bicara
Secukupnya
Tapi senyumnya sewangi bunga


Bidadari itu seperti itu
Melayang anggun
Dari tempat tidur
Hingga ke dapur
Dari ruang tengah
Ke hati yang rekah
Merawat diri
Merawat hati
Melengkapi suami


Seperti oase di gurun yang tenang
Ia ada pertama
Ia ada menggenapi
Dahaga


Bidadari seperti itu
Seperti yang kumau


Kamis, Agustus 19, 2010

Ajari Aku Mencintai Hidup

Ia bilang padaku
Aku adalah laut dalam hidupnya
Mama,
Engkaulah cangkang benua
Yg mewadahi segenap jiwa

Ia bilang padaku
Aku adalah awan bagi bumi dari terik matahari
Mama,
Engkaulah air segara
Yang membasuh udara dengan cinta

Ia bilang padaku
Berhentilah mengipasi rindu
Mama,
Ajari aku mencintai hidup
Sebagaimana kau mencintai setiap detik hidupmu untukku

Kamis, Agustus 05, 2010

Gimana Sih Caranya, Lady Violet









gimana sih caranya ngecilin perut tanpa olah raga n tanpa pake korset.....
gimana sih caranya sampai ke kantor ga telat n ga pake kena macet..
gimana sih caranya pergi ke bulan ga naik pesawat ga pake roket…
gimana sih caranya pipis ngga ngebasahin dinding closet


ngga mungkin kayaknya
se-ngga mungkinnya aku memasuki hatimu, lady violet

Selasa, Agustus 03, 2010

.....petangnya ramadhan

“tidakkah kau rindu petangnya ramadhan
sendu suara penyeru tuhan
lalu hidangan ala kadarnya
kita santap dengan gembira
kita berbuka”

”tidakkah kau rindu tarawih yang meriah
riuh rendah suara bocah
amin bersahut-sahutan menggoda imam
lalu doa syahdu memenuhi langit malam
tidakkah kau lihat, malaikat ikut bergumam”

”tidakkah kau rindu lapar yang menguatkan
tidakkah kau rindu haus yang mentawarkan
angkara hewani
dalam hati”



tentu. bisikku
tapi masih layakkah aku
tuk semua kenikmatan itu

Sabtu, Juli 31, 2010

Aku Mendekati Mimpi

seakan ada listrik di udara
aku bahkan dapat mendengarnya


embun subuh di rumput dan daun dalam perjalanan berangkat ke sekolah
bergerombol menyusuri jalan pulang bersama teman smp
cinta pertama gadis bali bermata sendu
patah hati yang pertama
menjadi alien di sma
patah hati kedua
seakan sinyal untuk tujuh patah hati berikutnya
bolak balik depok bogor untuk kuliah sambil bekerja
tawa renyah teman-teman kos
tidur satu ranjang yang sempit dengan sahabat
menyandang status penghuni gelap tetap
sepatu bekas yang dibeli di pinggir rel
sepatu pertama untuk interview kerja yang pertama
dasi untuk interview pertama
penolakan kerja pertama
menyusul lusinan kegagalan berikutnya
pekerjaan pertama
berkeringat ekstra joss dan lutut yang gemetar membongkar barang satu kontainer
senyum pelanggan yang puas
makian mereka lebih ganas
motor pertama
motor bekas kredit 2,5 tahun lamanya
warna putih cat dinding rumah sendiri
meski seukuran lebih besar sedikit dari pos security
meski butuh lima belas tahun waktu untuk melunasi


selangkah demi selangkah
aku mendekati mimpi


dulu aku bercita-cita, tapi tak terpikir akan bisa meraihnya
tapi kini sedikit demi sedikit
aku membangun jembatan bata
Meski masih jauh nyata dari angan-angan
Tapi aku tahu,
suatu hari nanti aku kan menaiki tribun juara
bersama pejuang mimpi lainnya

Pasti Ku Tunggu Pagi

Kulihat senja di wajahmu
Dalam wujudnya yang paling biru
Aku tahu, tak dapat kau menipu
Gadis,
 kau di mabuk rindu

Kau perbaiki letak kerudung
Seolah menepis awan mendung
Aku tahu, meski pandai bersandiwara
Gadis,  di hatimu
kecamuk cinta sedang meraja

Sini, biar ku panggilkan taksi
Dan seperti biasa engkau bidadari
Berlari meniti pelangi.  Pergi
Gadis,
Ku relakan kau pergi

Akan ku telpon engkau setiba di rumah
Basa basi memastikan kau tak bingung arah
Lalu di ujung percakapan ku selipkan janji
Gadis,
 pasti ku tunggu pagi
saat kau sendiri lagi

Bila pagi itu tiba
Ku kan kembali mencoba

Jumat, Juli 30, 2010

Selamat Ulang Tahun, Bidadari

selamat ulang tahun, bidadari

semoga hidupmu dipanjangkan dalam hari-hari yang indah dan menakjubkan
seperti rombongan sirkus kecil yang berkelana dari kota ke kota


semoga namamu selalu didengung-dengungkan oleh malaikat rupawan bersayap putih
dalam doa panjang yang syahdu


semoga kau selalu dianugerahi seutas senyum manis di wajahmu
meski apapun kesulitan yang kau hadapi


semoga cinta murni menjadi hal terakhir sebelum kau menutup mata tuk tidur
dan menjadi hal pertama saat kau bangun membuka mata


semoga kupu-kupu dalam dirimu selalu dapat menemukan keindahan dan manis madu
mengenali bunga dalam taman kehidupan


semoga engkau selalu diliputi berkah dan kebaikan Tuhan
seperti matahari melumuri langit pagi tepi pantai dengan cahaya keemasan

Selasa, Juli 20, 2010

Rindu Ini Padamu

dik, rindu ini padamu
adalah gerimis malam hari, di kesempatan pertama selepas senja
saat aspal basah memantulkan sinar lampu aneka warna
sehingga jalan raya seolah bentangan cahaya terentang hingga nirwana


dik, rindu ini padamu
berupa dendang angin menyapu lembut kepala
memperdengarkan nada-nada purba yang terperangkap di cangkang kerang raksasa
cerita tentang samudera dan kemegahan birunya


dik, rindu ini absurd
serapuh bayangan dirimu
di genangan air ingatanku yang tua
yang pecah digilas
mobil melintas


seperti empedu
rindu ini melekat padaku, pahit dan beku

Jumat, Juli 16, 2010

waktu yg akan menumbuhkan cinta












waktu yg akan menumbuhkan cinta

lewat pandangan mata
kata-kata apa adanya
senyum yg mengalir dari hati
tulus dan mau mengerti

percayalah, waktu akan menumbuhkan cinta

seperti matahari yang menumbuhkan asa
dan pagi yg mengabarkan bahwa
hari ini, seburuk apapun yg kau hadapi
semua bisa kita lewati

bersama

waktu akan menumbuhkan cinta
tapi siapa yg akan menumbuhkan rambut saya?

hehehehe


Jumat, Juli 09, 2010

PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA

Sabtu malam. Udara menggigit tulang, hembuskan napasnya yang dingin menusuk. Bajuku sudah tiga lapis. Aku mengepakkan tangan, mengumpulkan energi. Ada janji yang harus dilunasi.


Seperti biasa, seperti minggu-minggu sebelumnya, aku bergegas menerobos malam yang abu-abu karena dipadu sinar lampu jalan keemasan. Keluar pintu pagar aku mengambil jalan ke kiri, terus hingga ke pertigaan. Dengan sekali lompat, aku memasuki sebuah warung kopi.


Dia sudah disitu. Seperti biasa, tepat di depan rak berdinding kaca, tempat pisang goreng, tahu goreng, tempe goreng dan kadang-kadang tape goreng. Mungkin biar mudah baginya untuk mengambil salah satu, pikirku. Kenyataannya, dia memang selalu mengemil gorengan tersebut selama percakapan intim kami.


PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA. Begitu aku menyebutnya. Selalu pada jam-jam segini, lewat sedikit dari pukul satu. Saat acara di tivi cuma mengisi background ruang pandang. Jika bukan film Hollywood kelas dua, acaranya tak jauh dari kuis tak penting yang dipandu wanita cantik bersuara mendesah dengan busana minim. Pengunjung warung kopi hanya satu dua. Biasanya tukang ojek yang mangkal di pertigaan, atau bujangan yang pulang kemalaman, atau suami yang bosan dengan masakan istrinya.


Jadi kawan… memang sudah cukup kondusif untuk sebuah PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA.


Ia melirik arloji di tangannya. Kebiasaan yang tak perlu menurutku, toh ada jam dinding tepat di depan matanya. Meski begitu, itu adalah pertanda ritual intim antara kami dimulai. Berikutnya – yang juga bagian dari upacara ritual intim ini – adalah memesan makanan. Aku yang biasanya yang memulai. Aku memesan mie rebus tante. Artinya mie instan tambah telor dan potongan sawi hijau. Berikut adalah gilirannya.


“Biasa…!” katanya lirih tapi menggema di seluruh sudut ruangan. Gayanya begitu dramatis. Sambil berkata begitu ia menggeser sedikit posisi topi di kepalanya. Penjual warkop sudah paham. Kopi hitam, gula setengah sendok plus sejumput garam. Efektif menahan kantuk, begitu katanya saat pernah kutanya.


“Apa kabar?” sapanya. Matanya tak beranjak dari bibir gelas seolah memantrai ramuan ajaib kopi hitamnya itu.


Bila pertanyaan adalah sebuah makanan, maka pertanyaannya itu makanan yang sudah basi.  Dan jawabanku selalu sama seperti yang sudah-sudah. Apapun kondisiku di hari sabtu itu, kejadian dahsyat sedahsyat-dahsyatnya atau malah tawar hambar seperti air, aku selalu menjawab, ”aneh, seperti kopimu.”


Tak banyak yang kuketahui tentangnya. Dari uraian penjual warkop saat kuinterogasi di siang hari, kawanku dalam PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA itu adalah seorang salesman alat-alat kesehatan. Saban hari ia berkeliling perumahan mewah menawarkan produk dari pintu ke pintu.


Aku mengenalnya dua bulan silam. Aku tak tahu siapa yang mulai menyapa. Tahu-tahu kami sudah terlibat dalam sebuah percakapan, yang menurutku adalah percakapan yang paling tidak penting sedunia.


“Tujuh belas.” katanya.


“Hmmm… aku tak tahu.”


Tujuh belas pasangan artis yang cerai dalam setahun ini.” Dia mengangguk-angguk menerangkan.


“Luar biasa.” Sahutku.” Berarti sebulan minimal satu pasang artis bercerai.”


“Bila rata-rata punya dua anak, berarti ada tiga puluh empat anak calon orang stress, calon maniak pembunuh sadis berkepribadian ganda akibat broken home.”


“Ho oh.” Aku mengamini.


“Sembilan.” Giliranku menyebut angka.


“Sembilan kali kau kentut selama kita disini?” tebaknya.


“Bukan, itu enam kali. Sembilan kali bosku menelponku sepanjang hari.”


“Biasa saja.” Ia meremehkan.


“Itu karena kau tak tahu bosku. Dia menelpon cuma kalau ada masalah. Dan setiap kali pasti disertai dengan caci maki yang murah hati. Seluruh hewan yang ada di kebun binatang, tak ada satu pun yang luput diabsennya”


“Wah, pasti bikin senewen.” Ia bersimpati.


“Bukan main. Rasanya seperti sembilan kali ditembak mati.” kataku.


“Tiga.”


“Tiga kali terpeleset di WC?” giliranku menebak.


Dia menggeleng. Menang. “Tiga kali aku menambal ban motorku hari ini. Tiga kali paku sebesar pensil sukses merobek ban dalam. Tiga kali hanya untuk sekali perjalanan dari rawamangun ke cililitan lewat by pass.”


“Gila!” aku memekik,” Penjahat. Tak punya otak. Mengambil untung dengan menebar paku sama saja seperti vampir.”


“Memang gila!” dia setuju, melampiaskan rasa kesalnya dengan membantai pisang goreng yang ke lima.


“Lima.” Kataku misterius.


“Apa?” tanyanya, menyerah sebelum mencoba. Tak urung ia melihat kilatan nakal di mataku.


“Lima pisang goreng yang kau makan sejauh ini.” Kataku penuh kemenangan. Ia hening beberapa saat , lalu..


“Salah. Enam.” Katanya sebal sambil menyorongkan pisang goreng ke enam ke dalam mulut.


Duhai kawan, PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA ini akan berhenti tepat pukul dua. Kami akan saling mengangguk tipis satu sama lain, lalu beranjak pulang tanpa ucapan selamat-tinggal atau sekedar sampai-jumpa-lagi. Namun seolah telah mengikat perjanjian gaib, seminggu kemudian aku menemuinya lagi, di tempat yang sama, mengulang ritual yang sama, memesan makanan yang sama. Lalu saling melontarkan angka-angka. Tugas yang lain adalah menebak maksud angka tersebut. Sejauh ini, belum ada yang berhasil menebak angka yang lain.


“Tujuh.” Katanya. Kuperhatikan ia sering memberi tebakan angka-angka ganjil.

“Tujuh kali ke kamar kecil dalam sehari?”


“ Bukan. Sudah tujuh wanita yang aku tembak. Dan tujuh-tujuhnya menolakku.”


“Kenapa? Kau tidak jelek-jelek amat.”


Ia mengedikkan bahunya.


“Tragis.” Aku berkomentar.


“Tujuh.” Kataku. Ia melirikku. Curiga. Selama ini belum pernah kami membalas tebakan dengan memberikan angka yang sama.


“Tujuh bidadari Joko Tingkir?”


Aku menggeleng puas.


“Tujuh wanita yang sudah kau tembak, seperti aku.”


“Salah, terbalik. Tujuh wanita yang sudah menembakku. Tujuh-tujuhnya kutolak.”


“Sialan.” Ia menyerumput kopinya dengan kesal. Aku tak tahu, apakah karena salah menebak, atau keki dengan peruntunganku.


Dalam permainan ini tak ada aturan yang jelas mengenai angka. Terkadang angka tentang pencapaian sesuatu dalam waktu tertentu. Kadang jumlah sesuatu yang tidak lumrah. Terkadang rata-rata sebuah aktivitas yang tidak lazim. Namun seolah ada perjanjian gaib. Kami tak pernah menyebut angka desimal.

Satu yang kuperhatikan, ia sepertinya berusaha keras memberi aku tebakan angka-angka yang hebat, seperti data-data keuangan, rekor-rekor dunia, atau hasil penelitian terbaru. Aku yakin ia mempersiapkan matang-matang setiap tebakannya, mungkin pergi ke internet atau ke perpustakaan.

Misalnya waktu itu ia berteriak lantang, DUA. Ternyata itu hasil penelitian yang menyatakan dua dari tiga pria beristri pernah berselingkuh. Atau lima belas. Untuk lima belas orang yang masuk ke dalam mobil vw yang tercatat dalam buku rekor dunia.


Sementara tebakanku biasanya sangat remeh, cenderung tak penting.


Malam ini acara tivi memulu menampilkan berita kematian seorang mantan presiden. Aku mengerutkan diri di atas bangku panjang di pojok biasa aku duduk, di balik kaleng krupuk berwarna hijau.


Malam ini aku mencium bau-bauan yang berbeda. Bukan parfum atau bau tubuh. Tapi lebih seperti insting spiderman. Seperti bau-bauan di udara sebelum badai hebat. Dari sudut mata ku melihat ia menekuni gelasnya. Dan betapa tercengangnya aku. Gelasnya bukan berisi kopi hitam ajaib seperti biasa. Tapi teh manis hangat. Teh celup lagi, bukan teh tubruk.


Hari ini ia yang memulai permainan. Ia melemparkan sebuah angka. Aku menebak. Salah. Dia mengangguk puas. Aku melepaskan sebuah angka. Membalas. Dia menebak. Salah. Aku tersenyum dua tingkat, karena seperti biasa, angkaku adalah angka-angka remeh yang tak diduganya, tapi sebenarnya dekat dengannya. Angka-angka seperti:


Empat botol saus.


Tujuh puluh delapan, usia mantan presiden mulia tutup usia.


lima puluh dua minggu dalam setahun.


dua belas tusuk gigi yang tersisa di botol tusuk gigi di hadapannya.


Delapan buah tahi lalat di wajahnya.


Dan mukanya semakin kelabu.


“Sebelas.” Kataku lagi. Sebentar lagi pukul dua. permainan akan selesai. Ini tebakan pamungkasku. Pasti akan memukulnya dengan keras. Aku cepat-cepat menghapus senyum jahil dari wajahku.


Namun tak seperti biasanya, malam ini ia memandangku. Menatapku kuat-kuat. Matanya yang sipit tipis itu seperti pisau pembunuh berantai. Aku merasa sedikit takut.

Lama berselang, tiba-tiba ia tertawa. “Hahahahah.” Keras sekali, sampai-sampai cicak yang menempel di poster trio macan jatuh terkejut.


“Kenapa tertawa?” aku semakin bingung.


Dia tidak menjawab, malah menatapku kian kuat. Tak sadar tubuhku menggeletar oleh sensasi horror yang menyelimuti aura wajahnya. Tak biasanya ia begini.


“Kau pikir aku bodoh.” Katanya lirih penuh perasaan. Entah kenapa seperti suara reruntuhan.


Mulutku terbuka, tak siap dengan reaksinya.


“Kau pikir aku bodoh, hah?” ulangnya, kali ini dengan suara menggelegar. Penjaga warkop meloncat terkejut, bangun dari tidurnya.

“Aku memang tak berpendidikan. Cuma lulus SD. Menulis pun payah. Tapi aku bukan orang bodoh. Kau pikir aku tak tahu kau permainkan. Kau pikir mentang-mentang lulus S1, sarjana, kau boleh merendahkan orang lain.”


“Kuberitahu ya bung, aku lebih pintar dari kau. Tak ada gelar-gelaran. Titel. Embel-embel sialan."


"Yang penting itu pengalaman", teriaknya, "Kemampuan menjual. Memberi keuntungan buat perusahaan. Bekerja dua belas jam sehari, tujuh hari seminggu. Jadinya yang berhak naik jabatan itu seharusnya aku, bukan anak kemaren sore, masih bau kursi kuliahan sok tau yang tahu-tahu jadi supervisor, jadi manajer.”


“aku sudah berjuang. Dua belas tahun aku mengabdi. Lima tahun berturut-turut meraih predikat Penjual Terbaik. Pemegang rekor kunjungan tiga puluh delapan rumah dalam sehari. Menyumbang empat puluh satu persen penjualan dalam sebulan. Nol hari cuti. Bekerja nyaris tujuh hari seminggu. Tapi mana? MANA?. Selamanya aku jadi bawahan.


Jadi kuli. Jadi KOTORAN KUCING!! JADI ANGKA-ANGKA!!!”


Napasnya berkejaran. Matanya menatap garang. Ia diam beberapa saat, tapi badai belum berlalu. Aku menanti, takut dan panik.


“Sebelas katamu. Aku tahu, aku bisa menebaknya. Sebelas adalah untuk jumlah pertemuan kita hingga malam ini.”


Aku tercengang. Takjub. Bagaimana dia bisa menebaknya?


Dengan dramatis, ia menggeser sedikit topinya, tersenyum penuh kemenangan melihat raut wajahku yang tak bisa berbohong. Ia merapatkan ujung-ujung jaketnya lalu beranjak keluar.


Dan itu adalah pertemuan terakhir kami. Akhir riwayat PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA.


Dan aku bahkan belum tahu namanya.


Tapi toh itu biasa, tak penting. Di kota besar seperti Jakarta, kota dengan nurani setipis kertas dan bisa dibeli dengan kartu kredit, nama tidaklah penting.

Yang terpenting adalah angka-angka.