Minggu, Juni 19, 2011

Saat Aku Satu Bis Dengan Esbeye














Suatu saat aku satu bis dengan Esbeye
dalam suatu perjalanan menuju Pare-Pare.
Hai Tuan Presiden. Apa kabar?
Ssst, jangan panggil begitu. Aku sedang menyamar
Ia menurunkan topi bundar yang dikenakan
hingga matanya hilang dari penglihatan.

Bis berhenti.
Pare-pare tiga jam lagi.
Penumpang berebut keluar
memulung oksigen dari udara yang terbakar.

Mari Tuan, kita sejenak minum kopi.
Ia beranjak tanpa melepas tas kerja yang dipeluknya sedari tadi.
Aku lalu bertanya kepadanya tentang perjalanan
dan makanan yang ia makan.
Tentang Paspampres yang tak terlihat melindungi
dan hujan yang berbulan-bulan alpa mengunjungi negeri.

Apa kabarnya Jakarta? tanyaku ingin tahu.
Biasa. Hiruk pikuk. Terlalu banyak politisi.
Bahkan untuk ukuran negara yang besar ini.
Bukankah bagus? komentarku segera.
Ya, bila mereka tak lupa mengenakan otaknya sebelum berangkat kerja.

Mengapa Tuan disini?
Mengapa tidak, ini Indonesia juga.
Tidakkah banyak urusan di Jakarta?
Urusan selalu banyak, kawan.
Keberanian untuk tidak terikat dengan itu semua
merdeka dalam membuat pilihan
semata atas nama kebaikan dan keadilan
itu yang langka.

Aku disini untuk menemukan
keberanian semacam itu.

Aku tertawa. Keras sekali. 
Air mengucur dari mataku tanpa bisa kucegah.
Ia menatapku. Kurasa ia marah.
Maka segera setelah reda badai tawa
aku berbisik kepadanya.


Tak perlu mencari jauh-jauh, Tuan
dia ada disini.
Aku menepuk dadanya dua kali.
Orang menyebutnya nyali
kataku, lalu beranjak pergi.


Begitulah, suatu saat aku satu bis dengan Esbeye
dalam suatu mimpi menuju Indonesia.

3 komentar:

Queen's Mother mengatakan...

keren za....!!!, tulisanmu berbobot.aku ngintip blog mu ya..biar lebih termotivasi jadi blogger..dan ngasah otaku lebih "tajam", sekarang sih rasanya "stuck" abiezz...

Anonim mengatakan...

saya tamu dari kecom numpang singgah ^^

keren amat tulisannya, haha

reza is fahmi mengatakan...

kiki: makasyi... cuma coret2an doang ki...