Minggu, Januari 02, 2011

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (lima)


-lima-
Baju Direktur Dan Dasi Merah Biru


Suatu hari Ibu Guru bertanya kepada semua murid,”Apa cita-cita kalian?” Ibu Guru memanggil kami satu per satu. Yang dipanggil harus menjawab apa cita-citanya dan apa alasannya. Monika menjawab mau menjadi polwan, polisi wanita. Bayong ingin menjadi astronot. Poltak ingin menjadi dokter hewan.
“Benyamin Perdana.” panggil Ibu Guru. Itu nama lengkapku. Aku mengacungkan tangan. ”Nah... Ben, apa cita-citamu?”
Tanpa ragu aku menjawab lantang.”Jadi Asterix, Ibu Guru.”
Aku tak mengerti. Kelas menjadi gaduh. Sebagian mentertawakan jawabanku.
Ibu Guru bertanya,”Asterix itu apa, Ben?”
Bayong yang tertawa paling keras menjawab untukku,”Itu komik Bu. Jagoan. Badannya kecil, tapi kuat sekali bila sudah minum cairan ajaib.”
Ibu Guru tersenyum. Kini ia mengerti. ”Itu bukan cita-cita Ben. Yang Ibu maksud, bila besar nanti kamu mau jadi apa? Mau bekerja menjadi apa? Dokter, Hakim, Tentara, atau apa?”
Ibu Guru berbicara kepada seisi kelas, ”Anak-anak, kita harus punya cita-cita. Buatlah cita-cita setinggi mungkin. Kalian bisa menjadi apa saja. Jangan takut. Jika kalian belajar sungguh-sungguh, kalian bisa menggapai cita-cita kalian.”
Sampai di rumah, aku bertanya kepada Bunda. “Bunda, tadi di sekolah Ibu Guru bertanya cita-cita Ben kalau sudah besar mau jadi apa. Memang kalau sudah besar, kita bisa jadi apa saja ya, Bun?”
Bunda yang sedang menjahit baju berhenti sejenak. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya untuk mengelus kepalaku. Aku bergerak mundur. Aku tidak suka kepalaku dipegang-pegang.
“Betul Ben.” jawab Bunda.
“Bunda dulu cita-citanya jadi penjahit ya?” tanyaku lagi.
Bunda tertawa kecil. “Bukan Ben. Dulu Bunda tidak terpikir punya cita-cita. Bunda juga malas belajar. Makanya sekarang Bunda seperti ini. Miskin. Nah, kamu jangan tiru Bunda ya? Kamu harus belajar yang rajin. Jadi contoh yang baik buat adik-adik. Biar nanti hidupmu tidak susah seperti Bunda. Biar tercapai cita-citamu.”
Aku mengangguk. Mengerti. Bunda lalu bertanya lagi,” Memangnya kamu cita-cita mau jadi apa?”
“Ben tidak tahu Bun. Tapi Ben ingin punya banyak uang Bun. Biar Bunda tidak perlu menjahit. Biar kita bisa makan rendang setiap hari. Makan pisang goreng setiap pagi.” kataku. Bunda tertawa lagi. Ia kemudian berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau menjadi direktur?” usul Bunda.
“Direktur itu apa Bunda?”
“Direktur itu yang punya perusahaan. Kemana-mana pakai jas dan dasi. Kemana-mana naik mobil. Uangnya banyak dan punya banyak karyawan.” Kata Bunda lagi.
“Kayaknya asik Bunda. Ben mau jadi direktur saja kalau begitu.”
Sorenya aku segera mengumumkan cita-citaku kepada Artum-Tum, Ladit dan teman-teman tetangga. Aku sudah menyiapkan pidato yang sangat keren. Aku mengumpulkan seluruh anak kecil rumah petakan di lingkunganku di bawah pohon sawo depan pos hansip.
”Cita-cita itu penting!” kataku berapi-api. Mata-mata kecil di hadapanku berbinar-binar kagum.
”Kita harus punya cita-cita!” lanjutku lagi lebih galak. Mata-mata kecil itu lebih berbinar-binar.
”Aku bercita-cita mau jadi direktur.” kataku bangga. Itu adalah akhir dari pidatoku yang sangat keren.
Semua tampak kagum mendengar cita-citaku. Rupanya bagi sebagian besar, kata direktur adalah kata yang baru di telinga mereka.
“Tum-Tum juga mau jadi direktur. Kayak Bang Ben.” kata Artum-Tum.
“Tak boleh.” Kataku khawatir. Artum-Tum selalu menginginkan yang aku punya. ”Tak boleh. Perempuan tidak boleh jadi direktur.”
Artum-Tum merenggut. Aku berpikir keras, lalu akhirnya mengalah. ”Ya sudah. Kamu boleh jadi direktur seperti Ben.”
Tapi Artum-Tum berubah pikiran,” Engga ah. Tum-Tum mau jadi pemadam kebakaran saja.” Artum-Tum kagum dengan pemadam kebakaran. Minggu lalu aku, Artum-Tum, dan Ladit menonton kebakaran di kampung sebelah. Artum-Tum melonjak-lonjak gembira melihat api yang sangat besar melalap tujuh rumah kontrakan sekaligus. Artum-Tum malah sempat pulang ke rumah mengambil ember untuk membantu memadamkan api. Untunglah tak ada ember di rumah yang cukup kecil bagi Artum-Tum untuk dibawa.
Keesokan hari sepulang sekolah, Bunda memanggilku. “Coba lihat, apa yang telah Bunda belikan untukmu, Ben!” Bunda mengangsurkan kepadaku sebuah bungkusan.
Aku segera membuka bungkusan itu. Tak sabar. Di dalamnya ternyata sebuah baju kemeja dan dasi berwarna merah biru.
“Ini baju direktur. Dan dasinya.” Kata Bunda. “hadiah buat kamu. Biar tambah semangat belajarnya. Semoga nanti kamu bisa jadi direktur. Simpan yang baik ya. Kamu boleh pakai kapanpun kamu suka.”
Sejak saat itu, setiap sore selesai bermain dan mandi, aku memakai baju direkturku. Lengkap dengan dasi merah biru.  Kesukaanku daftar nomor empat.

Tidak ada komentar: