Minggu, Januari 02, 2011

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (empat)


-empat-
  Monster Kamar Mandi Di-Gesper


Artum-Tum dan Ladit senang bertualang.  Setiap sore mereka pergi ke lapangan bola di dekat kali. Letaknya cukup jauh dari rumah. Disana mereka bisa sepuasnya bermain pura-pura. Sialnya Bunda selalu menyuruhku untuk menemani Artum-Tum dan Ladit. Kadang-kadang aku malas menemani mereka. Artum-Tum mengajakku bermain pura-pura, tapi aku selalu menjadi penjahatnya. Pura-pura jadi pencuri yang dikejar polisi, atau pura-pura jadi bajak laut yang merampok harta karun, atau pura-pura jadi orang jahat musuhnya pendekar sakti. Terkadang aku heran. Untuk seorang anak perempuan berusia 4.5 tahun, sepertinya Artum-Tum tak pernah kehabisan ide untuk permainan pura-pura-nya.
Kali ini Artum-Tum menyuruhku menjadi penculik. Aku harus menculik Artum-Tum dan meminta tebusan: kartu gambaran 100 biji. Artum-Tum menyuruhku mengikat dirinya di tiang gawang. Matanya kututup dengan sarung yang selalu dibawa Artum-Tum dari rumah setiap kali kami pergi bermain. Sarung itu banyak kegunaannya. Kadang-kadang menjadi sayap superman, atau menjadi penutup kepala saat main ninja-ninjaan.
Ladit selalu menjadi jagoan. Kali ini Ladit kebagian peran menjadi polisi yang akan menyelamatkan Artum-Tum. Dalam kisah ini, polisi itu ternyata juga kekasih wanita yang diculik. Dan ternyata, aku menculik Artum-Tum bukan karena ingin mendapatkan tebusan 100 biji kartu gambaran semata. Aku sebenarnya adalah teman se-kantor Artum-Tum yang diam-diam menyukai Artum-Tum dan ingin menikahinya.  
Aku curiga Artum-Tum mendapat ide dari film cina yang ditontonnya semalam bersama Bunda.
“Oke!” kataku. Aku telah memeriksa tali yang mengikat Artum-Tum. Rasanya sudah cukup kuat. Sarung untuk menutup mata Artum-Tum juga sudah pas, tidak terlalu kencang tapi juga tidak terlalu kendor. Awalnya aku mengikat sarung itu  terlalu kencang dan menutupi seluruh wajah Artum-Tum sehingga ia sulit bernapas.
“Tolooooong! Tolooooong!” Artum-Tum mulai berteriak melengking-lengking. Badannya meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
“Huhuhu... Hiks.. Hiks.” Kini ia menangis. Aku tertawa melihat ulah Artum-Tum. Sangat meyakinkan. Aku yakin, bila ada polisi lewat, pasti aku sudah ditangkap karena dipikir aku penculik sungguhan.
“Kakak jangan ketawa.” Tiba-tiba Artum-Tum menghentikan aktingnya. “Kakak harusnya bilang,’diam kau wanita, atau nanti kau ku bunuh!’. Begituuu.....”
“Oke.” Kataku patuh.
“Diam kau, atau kubunuh!” teriakku mengancam. Artum-Tum menunduk, pura-pura ketakutan. Ia tidak melengking-lengking lagi seperti kereta api. Ia  kini menangis sesugukan. Sangat meyakinkan.
Ladit yang sedari tadi mengendap-endap di semak-semak kini keluar dari persembunyian. Ia mengacungkan ketapel dan berteriak,”Berhenti kau penjahat! Atau ku tembak! Lepaskan kekasihku!” Artum-Tum berteriak-teriak senang. Mata Ladit terus mengawasiku dengan tajam. Ia bergerak perlahan-lahan mendekatiku sambil tetap mengacungkan ketapelnya. Sangat meyakinkan.
Selanjutnya adalah adegan perkelahian. Aku tidak suka adegan perkelahian. Sekeren apapun gerakan yang kubuat, sedasyat apapun pukulan atau tendanganku, pada akhirnya aku harus kalah lalu pura-pura mati. Artum-Tum sudah siap mengingatkan aku bila aku tergoda untuk merubah jalan ceritanya.
Ladit melepaskan pukulan sakti ke arahku. Dengan berat hati aku pura-pura terpukul telak lalu jatuh pingsan. Aku mencoba melakukan gerakan jatuh se-dramatis mungkin. Gerakan lambat. Seperti di film-film.
Karena sudah menang, Ladit dengan santai melepaskan ikatan Artum-Tum. Artum-Tum melonjak-lonjak gembira. Yipi Yipi Yipiye...! Bebas! Bebas!
Saat itu aku punya ide keren di kepalaku.
“HUAAAAAAAAAAA!!!” Aku meraung keras. Aku melompat berdiri. Aku mencakar-cakar udara. Mulutku mernyeringai seram. Artum-Tum tampak kaget sekali. Ia terdiam melihat aku.
“Tanpa kalian tahu, aku sudah memakan pil monster. Kini aku sudah menjadi monster. Monster Kamar Mandi.  Huaaaaaa!” aku melonjak-lonjak buas.”Kini aku akan memakan kalian hidup-hidup. Huaaaaaaa!”
Aku meloncat ke arah mereka. Mulanya Artum-Tum dan Ladit tak mengerti, tapi kemudian mereka paham dan mengikuti permainanku.
“Toloooong! Monster jahat!”  Mereka berlari berhamburan. Ladit berlari berputar-putar seperti mabuk, sementara Artum-Tum berlari sambil menutup matanya dengan sarung pura-pura ketakutan. Dengan semangat aku mengejar mereka berdua. Seru sekali. Aku berhasil menangkap Ladit lalu pura-pura memakannya hingga habis. Setelah puas, aku mengalihkan sasaran kepada Artum-Tum.
‘Tidaaaaaak! Bunda toloooong!” Artum-Tum berteriak-teriak panik, tahu sekarang gilirannya untuk dimakan hidup-hidup.
Tak lama aku berhasil membuat Artum-Tum terpojok. Ia tak bisa kemana-mana lagi. Di belakangnya ada selokan yang cukup lebar dan dalam. Aku menyeringai puas. Tanganku menyeka bibir, seolah-olah air liurku menetes tak terkendali. Lalu aku melompat menangkap Artum-Tum. Tak diduga, Artum-Tum mengelak dengan cara melompati selokan.
Braaaak.
Artum-Tum terjatuh. Ia gagal melompati selokan itu. Kepalanya membentur ujung selokan yang terbuat dari beton. Artum-Tum terbaring lemas di dasar selokan. Darah mengucur dari kepalanya. Sebentar saja air selokan itu yang tadinya bening berubah menjadi merah.
*
Aku ingat daftarku tentang lelaki baik nomor dua. Lelaki baik melindungi wanita. Meski belum sekolah, Artum-Tum juga wanita. Jadi seharusnya aku melindungi Artum-Tum. Artum-Tum adikku. Aku merasa sedih sekali. Artum-Tum kini berbaring di kasur. Kepalanya sudah tidak berdarah lagi. Artum-Tum sudah dibawa ke rumah sakit. Kata Bunda, luka di kepala Artum-Tum sudah dijahit. Ada 5 jahitan.
Kalau suasananya tidak seperti sekarang, aku pasti sudah tertawa campur heran setengah mati. Di ruang depan ada mesin jahit milik Bunda. Setiap hari, bila sedang tidak memasak atau membersihkan rumah, Bunda menjahit baju. Itu pekerjaan Bunda. Sekarang aku mencoba membayangkan bagaimana caranya kepala Artum-Tum bisa dimasukkan ke mesin jahit itu untuk menjahit lukanya. Pasti mesin jahitnya khusus, beda dengan mesin jahit milik Bunda.
Tapi dipikir-pikir lagi, pasti dijahit rasanya sakit. Aku pernah membantu Bunda memasukkan benang ke dalam jarum. Tak sengaja tanganku tertusuk. Rasanya sakit sekali. Aku membayangkan Artum-Tum dijahit. Pasti super sakit.
Aku kembali merasa sedih. Sedih itu tidak enak, rasanya seperti terong bulat.
Ketika aku melihat kepala Artum-Tum berdarah, aku merasa sangat bingung. Ladit bengong melihat Artum-Tum. Sama sepertiku, ia tak tahu harus berbuat apa.
Untunglah ada Pak Haji, pemilik rumah kontrakan tempat aku tinggal. Ia meihat Artum-Tum melompat dan terjatuh. Dengan cepat ia mengangkat Artum-Tum dari dalam selokan lalu membawanya ke rumah sakit dengan menggunakan becak.
Sampai dengan matahari tenggelam aku dan Ladit masih berdiri diam di lapangan bola itu. Tak lama Ayah datang. “Benyamin, Radit, kesini!” hardiknya. Kami mendekat dengan takut. Ayah lalu menjewer telinga kami keras-keras lalu menariknya sepanjang perjalanan pulang. Rasanya kupingku mau putus.
Sesampainya di rumah, Ayah mengambil ikat pinggang. Aku bergidik ngeri. Itu artinya kami akan di-gesper. Ayah menyuruh kami berdiri bersisisan. Ia lalu mencambuk kakiku dan Ladit bergantian dengan ikat pinggang itu hingga kami tersungkur. “Dasar anak nakal! Brandalan!” hardik Ayah lagi.” Kalian apakan adik kalian? Jawab! Kalian ingin bunuh dia ya?”
Aku tidak suka ikat pinggang. Aku tidak suka di-gesper. Rasanya sangat sakit saat kulitnya yang tebal menampar kulit kakiku dengan keras.
Pada akhirnya Bunda berhasil merebut ikat pinggang dari tangan Ayah. Padahal Ayah sangat besar, sementara Bunda kecil sekali.
Ladit sudah tidur. Ia meringkuk di sampingku. Aku makin sedih ketika melihat Ladit. Aku tidak keberatan di-gesper. Aku seharusnya tidak usah merubah jalan cerita, pura-pura menjadi monster kamar mandi. Dengan begitu Artum-Tum tidak perlu berusaha melompati selokan dan terjatuh. Artum-Tum tidak perlu terluka sehingga harus dijahit lima jahitan dengan mesin jahit khusus.
Aku tak keberatan di-gesper. Aku memang salah.
Tapi Ladit tidak salah. Dia seharusnya tidak perlu ikut dijewer sepanjang jalan, tidak perlu di-gesper seperti aku.
Malam itu aku dan Ladit tertidur dengan kaki tertekuk. Perlu dua hari sampai kami berdua bisa berjalan normal kembali.
*

Tidak ada komentar: