Minggu, Januari 02, 2011

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (enam)


-enam-
Si Cantik Inne Byuti

Kata orang, Bunda cantik. Riza pernah melihat Bunda saat Bunda mengambil raportku di sekolah. Kata Riza, Bunda cantik. Eva juga pernah melihat Bunda. Kata Eva, Bunda cantik. Pak Maman penjaga sekolah bilang Bunda itu geulis. Geulis itu bahasa Sunda. Geulis berarti super duper cantik sekali.
Pulang sekolah aku langsung mencari Bunda. “Bunda, cantik itu apa?” tanyaku kepada Bunda. Bunda sedang menjahit baju. Suara mesin jahit meraung-raung keras sehingga aku harus sedikit berteriak kepada Bunda. Bunda menghentikan menjahit baju sejenak. Dia berpikir keras. Telunjuknya memukul-mukul bibir. Itu gaya Bunda bila sedang berpikir.
”Hmmmm... apa ya?” tanya Bunda ke diri sendiri. (Betul kan, Bunda juga bingung. Apalagi aku).” Begini... cantik itu indah, enak dilihat, bagus, bentuknya menarik hati. Apa ya kalau istilah kamu? Keren. Ya, cantik itu juga bisa berarti keren.”
”Berarti Ben cantik ya, Bun? Tanyaku lagi. Bunda tertawa kecil. Dia mengulurkan tangan hendak mengelus kepalaku. Tapi urung ketika melihat aku mundur. Aku tidak suka kepalaku dipegang-pegang.
”Tentu tidak, Ben.” Kata Bunda lembut. Senyum manisnya masih tertinggal di pipi. ”cantik itu istilah untuk perempuan. Kalau untuk laki-laki, istilahnya tampan. Nah… kamu tahu tidak… menurut Bunda, kamu itu anak Bunda yang sangat tampan.”
Bunda menjulurkan tangan lagi untuk mengelus kepalaku. Kali ini aku tidak bergerak mundur. Kali ini Bunda boleh mengelus kepalaku. Sekali-sekali, aku boleh mengijinkan orang lain menyentuh kepalaku, terutama bila orang itu sudah mengakui bahwa aku tampan.
”Ngomong-ngomong, kenapa kamu bertanya tentang cantik, Ben?’ Bunda penasaran.
”O..O.. Itu Bunda. Riza bilang, Bunda cantik. Eva bilang, Bunda catik. Pak maman juga bilang begitu. Kata semua orang di sekolah, Bunda cantik.” aku berkata santai. ”Ben setuju. Bundaku memang cantik.”
Aku suka khawatir dengan Bunda. Kadang-kadang, pipi Bunda bisa tiba-tiba berubah warna menjadi merah, seperti tomat! Persis seperti sekarang ini. Kapan-kapan Bunda perlu memeriksakan diri ke dokter.
*
Semenjak aku sudah lancar membaca, aku kini punya hobi baru. Membaca koran atau majalah. Bukan kolom berita. Aku tidak suka kolom berita, tulisannya kecil-kecil. Seperti semut upacara bendera. Aku suka membaca bagian iklan. Iklan itu keren. Tulisannya besar-besar dan ada gambar warna-warni. (Sebenarnya aku juga suka komik, terutama komik Asterix. Asterix itu jagoanku. Aku pernah meminjam komik Asterix dari Eva. Ceritanya seru. Andai aku bisa jadi Asterix, aku akan........)
Tapi Bunda tidak suka aku membaca komik. Kata Bunda, membaca komik bisa membuat aku malas belajar.
Kini setiap malam, selesai belajar atau mengerjakan pe-er, kami punya kegiatan baru. Aku, Artum-Tum, dan Ladit berkumpul di ruang depan. Di hadapan kami berhamparan koran atau majalah dalam aneka bentuk, ukuran, dan... bau. Maklum, koran dan majalah itu aku pinjam dari Bude’ Nunung, penjual sayuran tetangga depan rumah. Bude’ Nunung menggunakan kertas untuk membungkus barang belanjaan orang yang belanja di warungnya.
Aku suka iklan yang ada gambar mobilnya. Suatu hari aku akan membeli salah satu dari mobil-mobil keren itu. Artum-Tum suka iklan yang ada gambar wanita cantik memakai baju yang bagus. Dengan penuh semangat Artum-Tum membuka halaman majalah, helai demi helai. Ia bersorak setiap menemukan gambar wanita cantik, lalu buru-buru menyorongkan kepadaku untuk dibaca.
Beda dengan yang lain, Ladit senang iklan yang ada gambar uangnya. Mata Ladit langsung kelap-kelip merah kuning hijau setiap kali menemukan iklan yang ada gambar uang. Sama seperti Artum-Tum, Ladit buru-buru menyorongkan majalah tersebut kepadaku untuk dibaca.
Kegiatan baru kami itu seru sekali. Aku akan membaca iklan yang kami anggap bagus. Aku membacanya keras-keras, penuh penjiwaan. Begitu selesai membaca, Artum-Tum dan Ladit akan bertepuk tangan dengan heboh sekali. Mereka melonjak-lonjak gembira, lalu buru-buru mencari iklan berikutnya. Bila sudah asyik, kami bisa terus begitu hingga jam sembilan malam. Kami bertiga terlihat sangat kompak.
Tapi memang, pada mulanya sih rusuh. Awalnya, masing-masing kami berebut agar iklan pilihannya yang dibaca. Tidak bisa dong, mulutku kan cuma satu. Hampir saja kami berantem. Untunglah, Bunda punya ide yang super keren. Bunda menyuruh kami untuk... saling bergantian.
Bunda memang hebat. Dia selalu punya ide keren.
Saat ini adalah giliran Artum-Tum memilih iklan. Artum-Tum menyorongkan kepadaku iklan bergambar seorang gadis cantik memakai gaun berwarna merah strawberry. Aku membacakan iklan itu dengan keras dan penuh penjiwaan sampai kemudian aku menemukan kata yang sulit.
“In..Ner.... iner. Iner apa ya Dit?”  Tanyaku kepada Ladit. Aku belum pernah mendengar kata iner sebelumnya. Ladit juga menggeleng tak tahu.
“Kamu tahu, Tum-Tum? Iner itu apa?”
Artum-Tum berpikir sejenak. Telunjuknya memukul-mukul bibir, mencoba meniru gaya Bunda. Bunda seperti itu bila berpikir.
“Ahaaa!” Artum-Tum berseru dengan mata melotot dan tangan meninju udara. Kali ini ia meniru gaya Ayah bila Ayah berhasil menemukan jawaban yang sulit saat mengisi teka-teki silang.
“Tum-Tum, kamu tahu artinya?” tanyaku penuh harap.
Artum-Tum menggeleng. “Ngga.”
Kadang-kadang aku tidak mengerti wanita.
Aku melanjutkan ke kata berikutnya. Tapi ternyata, kata kedua jauh lebih sulit.
“Be... a..u...teye....Beyau...teye..... Beyaw teye...” aku mengeja dengan susah payah. “Beyaw teye apa ya?” Aku melirik Artum-Tum dan Ladit. Mereka diam dengan mulut keduanya nyaris menganga. Hmm... berarti  mereka juga tidak tahu.
“Bunda, ini apa ya?” aku beringsut ke mesin jahit Bunda. Bunda menghentikan sejenak menjahit baju. Aku menunjukkan dua kata sulit itu kepada Bunda.
“O..O.. Ini bahasa Inggris.” Kata Bunda. Pantas saja. Aku menyerah kalau ada inggrisnya.
“Kalau tidak salah, dibacanya inne byuti.” Lanjut Bunda.
Bahasa Inggris itu memang aneh. Tulisannya INNER BEAUTY, tapi dibacanya Inne byuti.
Aku kembali kepada Artum-Tum  dan Ladit. Aku membacakan seluruh kata dalam iklan itu, kali ini  dengan lengkap. “VERONA... sabun kecantikan. Mencerahkan kulit cantik indah sempurna. Membangkitkan pesona Inne...byuti... anda.” Aku membacakan dengan keras dan penuh penjiwaan.
Seperti biasa, Artum-Tum  dan Ladit bertepuk tangan heboh. Kali ini Artum-Tum mengakhiri tepuk tangan dengan meloncat-loncat sambil berseru, Yipi Yipi Yipiyeeee!
Meski sudah berhasil membaca kalimat iklan itu dengan baik, aku masih tidak puas. “Bunda, Inne Byuti itu apa?” tanyaku lagi kepada Bunda.
“Hmmm, apa ya?” telunjuk Bunda memukul-mukul bibir. “Bunda kurang paham bahasa Indonesianya, Ben. Tapi kalau menurut Mba Susi... itu loh, yang suka menawarkan kosmetik ke Bunda dan tetangga-tetangga. Kalau menurutnya, inner beauty itu, kecantikan yang datangnya dari dalam.”
Bunda kini meletakkan jahitan di tangannya. Ia mendatangi kami bertiga, lalu berkata,”Cantik itu ada dua. Cantik dari luar dan cantik dari dalam.  Kalau kita punya wajah yang cantik atau tampan, itu cantik dari luar. Kalau kita baik hati, suka menolong, rukun sama adik dan kakaknya, menurut dengan yang Bunda bilang, itu namanya cantik dari dalam. Dari dalam hati.”
“Inner beauty artinya kamu punya hati yang cantik.” Kata Bunda lagi. “Nah.. anak Bunda kan semuanya baik, suka mendengar kata-kata Bunda dan rukun sama kakak dan adiknya. Itu berarti anak-anak Bunda punya inner beauty.”
“Horeeeee. Kita punya inne byuti..” Artum-Tum bersorak-sorak. Ladit bertepuk tangan sambil meloncat senang. Aku protes tak setuju.
“Ben kan tidak cantik Bunda, tapi tampan.” aku bersungut-sungut sebal.
*
Aku pernah mendengarkan seorang bapak-bapak temannya Ayah mengobrol dengan Artum-Tum. Bapak itu berbicara dengan suara dilucu-lucukan, dengan kata-kata di-cadel-cadel-kan. Mulutnya monyong kesana-kesini agar Artum-Tum tertawa. Bila Artum-Tum bertanya suatu hal, Bapak itu menjawab asal-asalan. “Anak kecil mana ngerti.”kata Bapak itu kepada Ayah.
Aku juga pernah melihat anak seumuranku bertanya kepada ibunya yang sedang belanja. Ibu itu terus saja belanja, mengobrol dengan ibu-ibu yang lain. Ibu itu tidak menjawab pertanyaan anaknya. Anak itu bertanya lagi... dua, tiga, empat kali. Akhirnya sang ibu dengan sebal menjawab,”Duh kamu brisik banget. Tidak tahu apa Mama lagi belanja. Sudah sana, pergi main!”
Bila aku, atau Artum-Tum, atau Ladit bertanya, Bunda selalu menjawab. Bunda akan berhenti sejenak dari pekerjaannya sampai dengan kami puas mendengar jawabannya. Bunda menjawab semua pertanyaan kami, walau kadang-kadang itu pertanyaan konyol seperti:
Kenapa kalau kita menangis keluar air mata?
Mana yang lebih hebat, Asterix atau Superman?
Apakah di surga ada es pelangi? (yang ini pertanyaannya Artum-Tum)
Memang tidak semua pertanyaan bisa Bunda jawab dengan baik. Tapi tak ada pertanyaan yang diacuhkan.
Tidak ada pertanyaan anak Bunda yang tidak penting buat Bunda.
Meski kami masih kecil, Bunda berbicara kepada kami seperti mengobrol dengan orang dewasa. kata Bunda, anak kecil dan orang gede itu otaknya sama. Yang bedanya cuma di ukuran tubuhnya saja. Aku sih tidak paham maksud Bunda. Tapi menurutku kata-kata Bunda itu kereeeeeen.
Bunda memang keren. Menurutku, Bunda punya hati yang cantik. Bunda punya Inne byuti.
Itu sebabnya aku memasukkan Bunda ke daftar kesukaanku. Memang di dalam daftar kesukaanku, Bunda nomor enam. Tapi di hatiku, Bunda selalu nomor satu.
*

Tidak ada komentar: