Minggu, Januari 02, 2011

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (tujuh)


-tujuh-
Duk-Duk

Aku, Artum-Tum dan Ladit jarang sekali rukun.
Artum-Tum sebenarnya sih oke. Meski dia anak perempuan, dia tidak keberatan bila ku ajak bermain permainan anak laki-laki, seperti main bola atau main kelereng. Dia tidak suka memakai rok. Dia selalu memakai celana pendek selutut dan kaus yang kebesaran di tubuhnya karena sebenarnya itu kaus milikku.
Tapi itu masalahnya, Artum-Tum menyukai semua yang aku dan Ladit sukai. Bahkan, Artum-Tum menyukai semua yang anak laki-laki sukai. Artum-Tum tidak suka boneka, tapi suka robot-robotan. Artum-Tum tidak suka alat masak-masakan yang Ayah beli, tapi suka mobil-mobilan pemadam kebakaran milik Ladit. Ayah membelikan Artum-Tum rumah boneka. Artum-Tum mengubah rumah boneka itu menjadi kastil untuk benteng pertahanan saat kami bermain perang-perangan.
Kata Bunda, Artum-Tum itu anak perempuan. Tapi aku curiga, mungkin saja Bunda salah. Siapa tahu, iya kan?
*
Kalau tidak salah, ini sudah terjadi lama sekali.
Ketika itu aku mengajak Ladit bermain ke lapangan kecil, tepat di belakang komplek rumah mewah. Lingkungan tempat tinggalku memang berada di belakang komplek rumah mewah. Di ujung lapangan ada gundukan sampah. Orang komplek sering membuang sampah disitu. Kalau beruntung, aku sering menemukan harta karun. Aku pernah menemukan robot-robotan yang tangannya sudah putus, mobil-mobilan kecil, dan patung tentara seukuran jempol terbuat dari plastik. Aku bahkan pernah menemukan patung anjing lucu terbuat dari kaca. Sayang, Artum-Tum sudah memecahkannya.
Hari itu untuk pertama kali aku menunjukkan kepada Ladit tempat aku mencari harta karun. Bila aku berdua dengan Ladit, mungkin nanti bisa menemukan harta karun lebih banyak. Aku mengais-ngais tumpukan sampah dengan ujung sendal. Ladit mengais-ngais dengan kayu bekas kemoceng.
”Bang Ben, lihat deh!” Ladit menemukan sesuatu. Sebuah bola kasti. Aku memantulkannya ke tembok tinggi yang memisahkan lapangan dengan komplek. Bola itu memantul dengan indah. Aku menyukainya. Aku suka segala sesuatu yang berbentuk bulat dan bisa memantul-mantul.
Sampai di rumah, Ladit memintaku mengembalikan bola kasti itu kepadanya.
”Enak saja. Ini punya Ben.” kataku. Jarang ada anak-anak yang punya bola kasti. Di lingkunganku tinggal, hanya Aryo yang punya. Di sekolah, cuma Riza yang sering membawa bola kasti.
”Kan Ladit yang menemukan.” protes Ladit.
Aku berpikir keras. ”Kan Bang Ben yang mengajak. Itu kan tempat harta karun Bang Ben.”
”Bang Ben curang. Itu punya Ladit. Ladit yang nemu-in.”
Sampai sore menjelang habis, Ladit masih meminta bola kastinya. Eh, salah...bola kastiku.
”Kembalikan, Bang Ben!” suara Ladit mulai kencang. Aku cuek. Aku memantulkan bola itu ke dinding rumah. Tiba-tiba Ladit menyerobot berusaha merebutnya. Untung aku lebih cepat. Ladit gagal merebut bola kastiku.
Ladit lalu berusaha merebut bola itu dari tanganku. Aku mengelak. Tahu-tahu kami sudah mulai bergumul di lantai.
”Kembalikan bola Ladit.”
”Tidak, ini punya Ben”
”Bola Ladit!”
”Bola Ben!”
”Ladiiiit!”
”Beeeeeen!”
Bola di tanganku terlepas, lalu bergulir menjauhi kami yang bergelut seru. Ladit bangun, berusaha mengambil bola tersebut. Aku berusaha menghalangi. Ladit itu adikku, tapi badannya lebih besar dariku. Lebih besar sedikit.  Aku berusaha menghalangi Ladit setengah mati. Ladit sangat kuat.
”Asik. Tum-Tum nemu bola!” Artum-Tum tiba-tiba muncul dan memungut bola itu. Sedari pagi, Artum-Tum memang tidak di rumah. Artum-Tum pergi bersama Ayah, tak tahu kemana.
“Jangan Tum-Tum. Itu bola Ladit.” Ladit berhasil membebaskan diri dariku. Ladit mendekati Artum-Tum.”Kembalikan!”
”Ini punya Tum-Tum!” Tum-Tum mennyembunyikan bola itu ke belakang badannya.
Aku sudah bilang kan tadi, itu susahnya dengan Artum-Tum. Artum-Tum menyukai apa yang aku dan Ladit sukai. Dan yang Artum-Tum sukai harus menjadi milik dia. Harus punya dia. Kenapa sih dia tidak menjadi anak perempuan normal saja.
Aku melihat Ladit semakin kesal. ”PUNYA LADIT!” Ladit mengaum marah. Rupanya Ladit sudah tak tahan lagi. Ladit sudah berusaha sabar saat aku mengambil bola kastinya. Dan kini Artum-Tum juga mau mengambil bola kastinya.
Tanpa peringatan, Ladit langsung merebut bola itu dari tangan Artum-Tum. Artum-Tum melawan. Tapi badan Tum-Tum jauh lebih kecil. Kali ini Ladit tak perlu bersusah-susah. Sekali hempas, Ladit berhasil merampas bola itu. Artum-Tum terdorong hingga jatuh.
”Huaaaaaaaa. Huaaaaaaaa. Huhuhuhu!” Artum-Tum mulai menangis kencang. Air matanya mengalir deras seperti air terjun.
Ladit tak peduli. Ladit melempar-lempar kecil bola itu ke udara. Puas. Akhirnya Ladit memiliki kembali bola kastinya. Tapi hanya untuk sebentar saja, tidak untuk lama. Karena kemudian.....
”Radit..... kenapa Tum-Tum menangis?” suara Ayah di depan pintu, pelan tapi mengangetkan aku dan Ladit. Rupanya Artum-Tum pulang bersama Ayah. Tapi Ayah masih di luar sementara Artum-Tum masuk ke dalam rumah. Ayah masuk ke dalam rumah pas saat Ladit mendorong Artum-Tum.
“Ini Yah. Bola Ladit. Tum-Tum ambil bola Ladit.” kata Ladit.
”Bola Tum-Tuuuuuummmm. Huaaaaa. Huhuhuhuhu.” Artum-Tum menangis semakin keras.
”Radit, kembalikan bola Tum-Tum.” kata Ayah. Aku diam saja. Aku tak berani membela Ladit, memberitahukan kepada Ayah bola siapa itu sebenarnya.
”Tapi Yah. Ini bola Ladit. Ladit nemu di lapangan. Benar Yah. Tanya Bang Ben, deh.” Ladit bersikeras. Ayah mengalihkan pandangannya kepadaku. Aku cuma diam. Menunduk.
”Kembalikan!” Kata Ayah. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Ladit mendengus kesal. Ladit lalu melakukan kesalahan terbodoh. Kesalahan paling bodoh. Super bodoh. Ia melemparkan.... bukan, menimpukkan bola itu ke arah Artum-Tum.
’HUAAAAAAAAAA!” Artum-Tum menangis sekeras-kerasnya. Bola itu mengenai kepala Artum-Tum.
Aku membayangkan ikat pinggang. Aku membayangkan gagang sapu. Aku membayangkan benda-benda lain yang bisa Ayah pergunakan untuk mencambuk kaki Ladit hingga Ladit jatuh tersungkur. Mataku menjerit panik mencari Bunda. Bunda mana? Bunda mana?
Aku melihat Ladit menyadari kesalahannya. Aku melihat ketakutan yang sama yang aku rasakan. Tanpa disadari, Ladit bergerak mundur menjauhi Ayah. Gemetar.
”Ladit, kamu kok begitu dengan adikmu?” kata Ayah lembut. Tidak, apa aku tidak salah dengar? Ayah berkata dengan sangat lembut. Apa aku salah dengar? Mungkinkah Ayah tidak marah?
”Sini Ladit, Ayah mau ngomong.” bujuk Ayah lembut. Ya, Ayah tidak marah. Meski begitu Ladit masih ragu-ragu.
“Sini, jangan takut. Ayah cuma mau ngomong.” Bujuk Ayah sekali lagi. Ladit pelan-pelan maju mendekati Ayah. Ayah lalu mengusap-usap kepala Ladit penuh sayang.
”Begini Ladit.” kata Ayah sambil masih mengusap kepala Ladit.”Kamu tidak boleh begitu kepada Tum-Tum. Kan sakit, kena kepalanya. Kamu tahu tidak rasanya. Sini Ayah kasih tahu.”
Tiba-tiba Ayah menjenggut rambut Ladit keras-keras. Ladit tersentak kaget. Ayah lalu menyeret Ladit ke tembok dengan tangan masih menjenggut rambut Ladit. Serasa belum puas, Ayah mulai membenturkan kepala Ladit ke tembok. ”NAH, SAKIT KAN!” Kata Ayah geram, nyaris berteriak.
Ayah terus membenturkan kepala Ladit ke tembok. Berulang-ulang. Berulang-ulang.
Duk.
Duk.
Duk.
Pada akhirnya Bunda datang. Ia berhasil menghentikan Ayah. Ia berhasil menarik Ladit ke kamar. Padahal Ayah sangat besar, sementara Bunda kecil sekali.
*
Kalau tidak salah, itu sudah terjadi lama sekali.
Kepala Ladit tidak apa-apa. Cuma sedikit merah di kening, dan sedikit sakit bila disentuh. Keesokan harinya Ladit sudah ceria lagi. Bermain dengan teman. Bermain denganku. Bermain dengan Artum-Tum.
Artum-Tum sendiri cuma bertahan dua hari dengan bola kasti itu. Selanjutnya ia tidak memperdulikan bola kasti itu sebagaimana aku dan Ladit tidak memperdulikan bola itu lagi. Aku tidak tahu dimana bola sial itu sekarang berada. Mungkin sudah Bunda buang.
Bila ada orang yang ingin menyentuh kepalaku, mengusap-usap rambutku, aku kembali ingat peristiwa bola kasti itu lagi. Aku kembali ingat bagaimana Ayah membujuk Ladit dengan lembut untuk mendekat. Aku kembali ingat teriakan kaget Ladit karena rambutnya dijenggut. Aku kembali ingat suara kepala menghantam tembok. Duk.

Aku tidak suka kepalaku disentuh.

1 komentar:

Noveni As'ad mengatakan...

Keren.. blog2 kamu seperti cerpen yang berisi pesan moral... ^_^