Minggu, Januari 02, 2011

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (tiga)


 -tiga-
Ngus-Ngus Nakal dan Es Pelangi

Aku sakit. Badanku terasa lemah dan sedikit hangat. Dari hidungku tak henti-henti keluar air kental berwarna kuning kehijauan. Kata Bunda, air itu namanya Ngus-Ngus Nakal .
Ngus-Ngus Nakal memang sangat nakal. Ia keluar di saat yang tidak tepat, misalnya saat aku akan  memakan pisang goreng kesukaanku daftar nomor lima. Sebagian Ngus-Ngus Nakal tumpah membasahi pisang goreng. Rasanya sayang, tapi kata Bunda pisang itu sudah tak enak dimakan. Sepertinya Bunda benar. Aku sempat menggigit sedikit pisang goreng itu, rasanya kini menjadi asin.
Bunda melarangku menyedot kembali Ngus-Ngus Nakal kembali ke dalam hidung. Bunda memberiku sapu tangan. Setiap kali aku merasa Ngus-Ngus Nakal akan tumpah, aku harus membuangnya di sapu tangan. Caranya, aku harus menghembuskan napas kuat-kuat sambil menutup mulut rapat-rapat.
Srooooot!  Begitu caranya.
Gara-gara Ngus-ngus nakal, Bunda tidak mengijinkanku berangkat sekolah. Aku harus tinggal di rumah seharian. Bahkan aku tidak boleh keluar bermain di sore hari dengan adik-adikku dan teman tetanggaku seperti biasanya. Aku sih tidak keberatan. Aku merasa tidak bersemangat untuk berbuat apapun. Bunda menghamparkan kasur di depan tivi sehingga aku dapat tidur-tiduran di depan tivi, kesukaanku daftar nomor satu.
Bencana baru datang di sore hari. Ayah yang sudah seminggu tidak pulang ke rumah, tiba-tiba pulang sambil membawa es pelangi warna-warni satu plastik besar. Aku sangat menyukai es pelangi. Bahkan itu adalah makanan kesukaan kami bertiga, aku, Artum-Tum adikku dan Ladit adikku yang satu lagi. Meski begitu aku tidak memasukkan es pelangi ke dalam daftar kesukaanku. Nanti kalian akan tahu alasannya.
Es pelangi rasanya sangat lezat dan dingin. Kita bisa merasakan rasa strawberi, anggur, dan jeruk jadi satu. Bila sudah habis, stik es-nya bisa kita koleksi. Artum-Tum langsung mengambil dua buah es pelangi, satu dipegang dengan tangan kanan, satu lagi dengan tangan kiri. Ia menjilat es pelangi tersebut bergantian hingga habis. Ladit adikku yang satu lagi mengayun-ayunkan es pelangi lalu memasukkan es tersebut ke mulutnya pelan-pelan seolah-olah es itu adalah helikopter yang akan mendarat.
Tapi Bunda tidak mengijinkanku saat aku akan mengambil es tersebut. Kata Bunda, sakitku tidak akan sembuh jika aku makan es. Ayah mengangkat bahu, lalu memasukkan es pelangi ke dalam kulkas. “Nanti kalau sudah sembuh., baru boleh makan es-nya.” kata Ayah.
Sebenarnya Ayah membeli es pelangi cukup banyak. Tapi Artum-Tum tak hentinya memakan es pelangi warna-warni itu. Setengah jam sekali Artum-Tum membuka pintu kulkas dan mengambil es pelangi yang baru. Lama-lama aku khawatir. Aku segera berhitung. Bila begitu terus, tak ada es pelangi yang tersisa di esok hari. Aku mulai panik.
Setelah berpikir sebentar, aku putuskan nanti malam aku sudah sembuh.
*
Menunggu itu tidak enak, rasanya seperti terong ungu. Aku membuka sedikit mata, melirik jam dinding. Sudah jam sebelas malam. Artum-Tum sudah tidur dari tadi. Begitu juga Ladit. Tapi Bunda masih bicara pelan-pelan dengan Ayah di ruang depan. Aku bergerak-gerak gelisah. Aku sudah memutuskan bahwa sekarang aku sudah sembuh. Nanti bila Bunda dan Ayah sudah tidur aku akan diam-diam menyelinap ke dapur dan makan es pelangi. Aku berbaring gelisah di tempat tidur. Selain sebal menunggu waktu Bunda dan Ayah pergi tidur, badanku mulai terasa semakin hangat. Tapi aku tak khawatir, aku kan sudah putuskan aku sudah sembuh. Setelah makan es pelangi, badanku pasti dingin kembali.
Setengah jam kemudian, Ayah pergi ke kamar. Tak lama Bunda menyusul.
Yipi Yipi Yipiye!!!! Aku bersorak dalam hati. Untuk amannya, aku menunggu lagi selama lima menit. Lalu pelan-pelan aku menyelinap ke dapur.
Syukurlah, masih tersisa dua buah es pelangi di dalam kulkas. Aku segera memakannya. Aneh, rasanya tidak seperti biasa, hampir tidak ada rasa. Meski es rasanya dingin, tapi aku merasa tenggorokanku kepanasan setiap kali menelan es itu.
*
Pagi harinya aku mendengar suara yang bising menusuk telinga. Ku coba paksakan tuk membuka mata. Lambat-lambat kulihat Bunda menatap tajam kepadaku sambil menggoyang-goyang bungkus es pelangi di hadapanku. Aku rupanya lupa membuang bungkus tersebut semalam. Bunda sepertinya akan marah, tapi muka Bunda berubah ketika tangannya meraba keningku. Aku tak mendengar jelas yang dikatakan Bunda, karena kepalaku terasa semakin sakit. Selanjutnya aku tak tahu apa yang terjadi.
Ketika aku membuka mata, aku sudah di ruangan yang aku tidak kenal. Tangan kiriku tak bebas bergerak. Ada selang kecil yang panjang keluar dari tanganku dan berujung pada sebuah botol berisi air yang digantung di sebuah tiang besi. Bunda berada di sampingku. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Aku tidak suka kepalaku dipegang-pegang. Tapi aku tidak keberatan bila Bunda yang memegang.
Aku masuk rumah sakit selama tiga hari. Dokter yang menjagaku bernama Dok-dok. Ia sangat lucu. Ia memakai baju putih yang kebesaran dan di lehernya tergantung penutup telinga yang diujungnya terdapat besi bulat. Setiap kali datang, Dok-dok memakai penutup telinga dan menempelkan ujung besi bulatnya ke dadaku. Rasanya enak, dingin. Kata Dok-dok, alat itu namanya setestoskop. Gunanya untuk mendengar suara jantung. Keren ya, aku baru tahu kalau jantung bisa bicara!!!
Tadinya aku pikir Bunda akan memarahiku soal es pelangi. Saat Artum-Tum mengunjungiku bersama Ayah, Artum-Tum makan es pelangi di hadapanku. Aku sudah sangat khawatir Bunda akan ingat aku sudah melanggar larangannya makan es pelangi. Tapi hingga aku pulang dari rumah sakit, Bunda tak pernah membicarakannya. Aku sendiri sejak kejadian itu tidak lagi memasukkan es pelangi ke daftar kesukaanku. Aku tetap suka makan es pelangi. Tapi kini aku tahu dan mengingat baik hal berikut:
Es pelangi dan Ngus-Ngus Nakal bukan sahabat baik.
*

Tidak ada komentar: