Kamis, Maret 24, 2011

Tivi Kardus Langit Biru

















Ada perayaan kecil. Mas Kar sudah membeli es batu. Nunik memecahnya kecil-kecil dengan batu ulekan, lalu dimasukkan ke dalam seteko besar teh manis. Kacang goreng dua plastik penuh. Tidak lupa keripik singkong, yang ini favoritnya Ucep. Semua lalu berkumpul di ruang depan. Mama duduk di tengah, sudah seperti Ratu Kerajaan Antah Berantah akan membuka pesta mewah kerajaan tujuh hari tujuh malam.


Ihwal perayaan ini sederhana saja. Bu Batur yang penjual gado-gado saban hari di depan gereja, tadi pagi ujug-ujug mendatangi Mama. Anak perempuannya yang paling besar usia kelas enam SD ikut menemani. ”Ayo dong, Tante. Saya lagi butuh uang.” mohon Bu Batur memelas. Di atas paha anaknya yang kurus terletak sebuah bungkusan besar. Bocah tanggung itu memeluk bungkusan tersebut seperti memeluk bonekanya yang paling disayang.


”Berapa?” tanya Mama.


”Empat ratus.”


“Hiyy. Mahal. Dua ratus.” Mama bahkan tidak melihat ke bungkusan itu.


Induk dan anak itu saling pandang. ”Jangan Tante, belinya aja enam ratus.”


”Sudah, saya juga tidak butuh. Mau ditaruh dimana? Lagipula pasti juga sudah rusak.” Mama tak berpaling dari jahitannya.


“Engga kok, Tante. Masih bagus. Baru enam bulan.” tukas Bu Batur kian memelas.


”Dua ratus.” kata Mama lagi. Bu Batur mengusap rambut anak perempuannya. Lalu mengangguk.


Dan kini, di atas lemari yang sebelumnya rak sepatu, telah nangkring dengan gagah, sebuah televisi berwarna 14 inci. Tivi itulah yang tadi pagi dijual Bu Batur. Mama kini memegang remote. Dagunya sedikit terangkat. Tanpa suara Mama membanggakan keahliannya tawar-menawar tadi pagi.


”Horeee!” semua serentak bersorak saat Mama menekan tombol On. Tivi itu berpendar-pendar indah. Ucep mencomot keripik singkong tanpa mengalihkan pandangan dari tivi. Nunik menyandarkan kepala ke pundak Mama. Seulas senyum pepsodent terukir di bibirnya. Mas Kar mengintai remote di tangan Mama. Ada siaran langsung pertandingan sepakbola nasional sebentar lagi. Pikirannya sibuk merancang makar untuk merebut remote dari kekuasaan Mama.


Okeh, ini aneh. Terkesan membesar-besarkan masalah sepele. Tivi itu sudah seperti barang pokok. Biasa saja, seperti beras atau udara. Jadi tak perlu didramatisir seperti ini. Biasa saja, dong!


Tapi bayangkan jika seumur hidup anda sudah akrab dengan kotak ajaib ini, lalu tiba-tiba, desss... dia hilang. Pergi. Selama sembilan bulan lebih hidup anda terpisah dari keajaiban teknologi dunia modern itu. Apa yang akan anda lakukan? Bagaimana anda mengisi kekosongan itu? Bagaimanaaaa.... Katakaaaaan!!!!!.


Sembilan bulan lalu kami terakhir memiliki tivi di rumah. Tivi yang diduga keras buatan taiwan itu sudah melayani kami seperti sudah berabad-abad. Tombol on-off nya sudah hilang, begitu pula tutup panel tivi di bagian bawah. Jangan ditanya remotenya, sudah lenyap sejak lama. Untuk menaik-turunkan volume suara, diperlukan sebuah tang untuk menjepit dan memutarnya. Sungguh, di hari-hari akhir hayatnya, tivi tua itu tampak seperti sosok pahlawan perang dengan luka tembak di sana-sini.


Begitu pun, kepergian tivi itu bukan tak diduga sebelumnya. Suatu hari, tivi tua itu mati tiba-tiba. Nunik mencoba menghidupkan kembali. Ada 30 detik sejak tombol on dinyalakan hingga gambar muncul. Gambarnya pun tak langsung jelas. Diiringi suara gemerisik keras, butuh jeda berapa saat sebelum gambar tampil utuh. Seiring bertambah hari, jeda itu juga semakin lama. Dan tepat tanggal 9 Oktober 2009, saat kami sedang asyik-asyiknya menonton siaran langsung pemilihan putri Indoesia, tivi itu mati mendadak dan tak hidup lagi untuk selamanya. Diiringi kepulan asap putih dan teriakan panik seisi rumah, jadilah itu hari terakhir pelayanan panjang sang tivi pejuang.


Semuanya bersedih. Tivi tua itu telah menjadi bagian hidup kami, seperti saudara. Nunik bahkan membuat sebuah puisi perpisahan yang didekasikan untuk Sang Tivi tua itu. Puisi yang apik, heroik, lugas dan menggetarkan itu berbunyi:


Tivi..
Aah..
Kau
mati..


Tampak jelas bahwa Nunik di masa mendatang mempunyai potensi besar sebagai the next pujangga besar Indonesia.


Intinya, tivi itu penting. Sampai-sampai kami mengadakan malam perpisahan dan prosesi pemakaman di halaman belakang rumah. Okeh, sebenarnya tempat sampah belakang, tapi tetap kami memberi penghormatan yang layak. Setiap pahlawan berhak mendapatkan penghormatan terakhir, bukan?


Sebenarnya tivi kan bukan barang mewah. Lima ratus ribu perak sudah bisa beli. Mas Kar, dan aku sudah bekerja. Tapi meski begitu penghasilan kami sekeluarga hanya cukup buat makan, kontrakan, listrik dan bayar biaya sekolah Ucep dan Nunik.


*


Aku punya sebuah teori, tentang hirearki kekuasaan di dalam keluarga yang dapat dilihat dari siapa yang memegang kendali remote tivi. Dalam hal ini,, jika Mama memegang remote, tak ada yang bisa secara frontal mengambil remote dari genggamannya. Yang lain harus puas ikut menikmati sinetron favorit Mama, atau silahkan tidur saja. Posisi kedua di tangan Mas Kar yang hobi nonton bola, aku, baru kemudian Ucep. Nunik si bungsu biasanya cukup puas dengan acara apapun yang dipilihkan. Dasarnya juga dia bukan tipe pilih-pilih. Tapi meski begitu jangan salah: dialah pemegang kekuasan tertinggi di rumah. Dia punya semacam senjata ampuh sakti mandraguna. Bila ia sedang ingin menonton suatu acara, tapi yang lain tak mau mengubah channel, maka cukup dengan sekali merintih dan pasang muka sendu, semua takluk mengangsurkan remote kepadanya.


*


Sudah seminggu lebih kini ruang tengah kami bercahaya lagi. Ritme keluarga yang dulu meredup karena tak ada tivi, kini mulai hidup kembali. Nunik yang paling senang. Pulang sekolah ia tidak lagi bengong mematut-matut radio butut peninggalan papa. Malam hari mama memantau kondisi terkini sinetron Cinta Fitri. Kalau beruntung, Ucep bisa mengalihkan perhatian Mama dan mengubah saluran ke acara musik. Mas Kar kemarin tidak bekerja, kesiangan. Rupanya setelah sekian lama tidak menonton tivi, matanya belum terlatih lagi untuk begadang menonton siaran langsung pertandingan sepak bola.


Aku baru selesai berganti baju sepulang kerja., ketika Nunik tiba-tiba masuk kamar. Dia duduk di tepi kasur. Ia sedikit meringis, mata sendu. Aku segera waspada, karena Nunik sedang mengeluarkan senjata ampuh sakti mandragunanya. Aku diam, tahu bahwa sebentar lagi ia akan meminta sesuatu yang tak akan ku tolak. Meski begitu aku tetap terkejut mendengar permintaannya. Hampir menetes air mata. Buru-buru aku mengangguk, lalu ku peluk adikku itu dalam-dalam.


Besoknya kegaduhan luar biasa terjadi. Ketika pulang dari konveksian tempatnya bekerja, Mama kaget bukan kepalang. Tivi hilang. Lemari bekas rak sepatu tempat tivi semula berada, kini telah kosong plong. Mama berteriak-teriak memanggil Nunik. Histeris. Tapi Nunik tak ada. Tak lama setelah pulang sekolah, ia berangkat lagi, tak bilang mau kemana. Untung Mas Kar pulang lebih cepat dari biasa. Ia menemukan Mama terduduk lemas seperti kehabisan napas. Buru-buru Mas kar membuat segelas teh manis anget. Setelah wajah Mama berdarah lagi, Mama berkata parau, “ Tivi kita Kar. Tivi ilaaang, tivi ilaaaang!” Tak kepalang Mas Kar terkejut. Karena panik melihat kondisi Mama, ia tidak ngeh tivi sudah tidak ada di tempatnya. Tapi yang paling dramatis justru Ucep. Tak lama kemudian ia pulang dari kampus. Setelah tau tivi tak ada lagi, kontan ia berteriak heboh. “Naaaaaaiiiiiiiif!!” lalu jatuh pingsan. Usut punya usut, rupanya malam ini ada siaran langsung pertunjungan musik grup band favoritnya.


Selepas isya aku tiba di rumah. Mama, Mas Kar dan Ucep sudah menunggu di depan pintu. Tatapan mereka menuduh. Mas Kar maju, “Tivi hilang, kau tahu kemana hilangnya?” Mama membuang muka. Ada semburat luka di wajah tuanya.


Tak jelas lagi perasaanku. Aku tahu mereka menuduh aku mengambil tivi itu. Kesal, marah, sedih, dan menyesal jadi satu. Aku tak menyalahkan. Tiga tahun lalu aku kecanduan obat terlarang. Kuliahku berantakan. Satu per satu barang di rumah ku jual diam-diam. Bahkan kalung emas Mama. Saat keluargaku tahu, mereka sedih sekali. Mama sampai jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit dua minggu. Barulah aku sadar. Berhenti total. Tapi meski aku sudah bersih sekarang, rupanya trauma belum hilang di hati mereka.


“Kau tahu kemana hilangnya?” tanya Mas kar lagi. Aku mengangguk. Mama langsung menangis. Histeris. Ia jatuh lemas dan dengan sigap ditangkap oleh Ucep. Mas Kar menarik kerah bajuku. Tapi tak ada kata-kata keluar. Cuma marah yang nyata di setiap sudut wajahnya. Aku diam. Cuma diam.


Jam delapan malam. Aku seperti pesakitan, duduk di tengah. Mas Kar, Ucep dan Mama mengelilingiku. Mama sekali-kali masih terisak. Selebihnya diam. Saat itulah Nunik pulang. Wajahnya sumringah, cerah. Tak urung ia tertegun melihat kami, melihat Mama terisak. Nunik mengikuti ekor mata Ucep ke arah Tivi yang kini tak ada lagi. Nunik paham. Pelan-pelan dia duduk bergabung. Matanya berkaca-kaca.


“Nanti Mas Kar beli lagi, Nun.” Bujuk Mas Kar, melihat tanda-tanda Nunik sangat kehilangan.


“Iya, nanti Mama beli lagi.” Kata Mama lirih.


Nunik mengusap matanya. “ Nunik minta maaf.”


“Iya, Mas Kar maafkan.” Hening sejenak, lalu... ”Lho, tapi maaf untuk apa?”


“Tivi.” Kata Nunik.


“Tivi?” trio Mama, Mas Kar dan Ucep sontak berucap. Bingung.


Gantian Nunik yang bingung. “ Iya, Tivi. Nunik minta maaf soal Tivinya. Abis Nunik merasa sedih. Mang Robi ga cerita?”


“Sedih?” trio Mama, Mas kar dan Ucep serentak bertanya dalam satu harmoni. Tak urung mereka menatapku.


“Nunik jual tivinya” lanjut Nunik.


“JUAL...?” kali ini trio tersebut serentak berteriak kaget.


“Kamu yang jual tivinya Nun? Bukan Robi?” tanya Mama sambil memandang bergantian aku dan Nunik.


“Iya, memang Mang Robi yang jualin, tapi Nunik yang minta tolong.”


Mama, Ucep dan Mas kar memandangku. Minta penjelasan. Aku menarik napas. “Aku yang jualin. Tiga ratus ribu. Semalam Nunik minta tolong. Aku tak tega menolaknya. Jelasin atuh Nun, buat apa duitnya.”


Nunik meringis, lalu pasang muka sendu. Senjata ampuh sakti mandragunanya keluar. “Kemarin ketemu sama anaknya Bu Batur. Nina. Yang kemarin nemenin Bu Batur jualin tivinya ke kita. Iseng-iseng Nunik nanya, gimana sekolahnya, pinter ngga? Dia bilang, Nina sekarang sudah SMP. Tapi belum masuk. Uangnya belum cukup. Rupanya kemarin Bu Batur jual tivi buat biaya masuk SMP anaknya. Uang masuknya masih kurang dua ratus lagi. Nunik jadi sedih. Kasihan. Jadinya semalam Nunik minta mang Robi jual lagi tivinya. Lumayan, laku tiga ratus. Pulang sekolah Nunik ke tempat kerja mang robi, ambil duitnya, trus langsung ke rumah Bu Batur. Trus nemenin Bu Batur ke SMPnya Nina, bayar uang masuknya. Ada sisa seratus, Nunik beliin buku buat Nina.”


Mas kar, Ucep, dan Mama ternganga. Mereka langsung memandang aku, minta maaf. Aku mengangguk.


“Nunik minta maap, ngga bilang-bilang. Takut pada ngga setuju.” Seperti yang sudah kuduga, senjata ampuh sakti mandraguna Nunik berhasil menaklukkan semuanya. Diam-diam aku mengamati Nunik, siapa tahu aku bisa mencuri senjata ampuhnya itu.


“ Tapi Nunik ga papa?” tanya Mama,” Nunik ga bisa nonton tivi lagi...”


“Ngga papa. Kan kata Mama, sekolah itu penting. Bagaimanapun caranya harus sekolah. Bagaimanapun caranya.”


Seakan tiba-tiba ada tsunami, kami tenggelam dalam haru. Kami baru tahu, di balik diamnya, Nunik memiliki hati yang lapang, seluas langit biru.


*


Ada perayaan kecil. Mas Kar sudah membeli es batu. Nunik memecahnya kecil-kecil dengan batu ulekan, lalu dimasukkan ke dalam seteko besar teh manis. Kacang goreng dua, bukan... tiga plastik penuh. Tidak lupa keripik singkong, yang ini favoritnya Ucep. Semua lalu berkumpul di ruang depan. Mama duduk di tengah, sudah seperti Ratu Kerajaan Antah Berantah akan membuka pesta mewah kerajaan tujuh hari tujuh malam.


Ihwal perayaan ini sederhana saja. Ucep membuat Tivi bohong-bohongan dari kardus. Pada layarnya ia memasang gambar artis Luna Maya. Kami sekeluarga asyik menonton Tivi kardus itu. Meriah. Seru sekali. Tak ada yang lebih seru dibanding menonton tivi kardus dengan hati lapang seluas langit biru, bukan?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

excellent