Sabtu malam. Udara menggigit tulang, hembuskan napasnya yang dingin menusuk. Bajuku sudah tiga lapis. Aku mengepakkan tangan, mengumpulkan energi. Ada janji yang harus dilunasi.
Seperti biasa, seperti minggu-minggu sebelumnya, aku bergegas menerobos malam yang abu-abu karena dipadu sinar lampu jalan keemasan. Keluar pintu pagar aku mengambil jalan ke kiri, terus hingga ke pertigaan. Dengan sekali lompat, aku memasuki sebuah warung kopi.
Dia sudah disitu. Seperti biasa, tepat di depan rak berdinding kaca, tempat pisang goreng, tahu goreng, tempe goreng dan kadang-kadang tape goreng. Mungkin biar mudah baginya untuk mengambil salah satu, pikirku. Kenyataannya, dia memang selalu mengemil gorengan tersebut selama percakapan intim kami.
PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA. Begitu aku menyebutnya. Selalu pada jam-jam segini, lewat sedikit dari pukul satu. Saat acara di tivi cuma mengisi background ruang pandang. Jika bukan film Hollywood kelas dua, acaranya tak jauh dari kuis tak penting yang dipandu wanita cantik bersuara mendesah dengan busana minim. Pengunjung warung kopi hanya satu dua. Biasanya tukang ojek yang mangkal di pertigaan, atau bujangan yang pulang kemalaman, atau suami yang bosan dengan masakan istrinya.
Jadi kawan… memang sudah cukup kondusif untuk sebuah PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA.
Ia melirik arloji di tangannya. Kebiasaan yang tak perlu menurutku, toh ada jam dinding tepat di depan matanya. Meski begitu, itu adalah pertanda ritual intim antara kami dimulai. Berikutnya – yang juga bagian dari upacara ritual intim ini – adalah memesan makanan. Aku yang biasanya yang memulai. Aku memesan mie rebus tante. Artinya mie instan tambah telor dan potongan sawi hijau. Berikut adalah gilirannya.
“Biasa…!” katanya lirih tapi menggema di seluruh sudut ruangan. Gayanya begitu dramatis. Sambil berkata begitu ia menggeser sedikit posisi topi di kepalanya. Penjual warkop sudah paham. Kopi hitam, gula setengah sendok plus sejumput garam. Efektif menahan kantuk, begitu katanya saat pernah kutanya.
“Apa kabar?” sapanya. Matanya tak beranjak dari bibir gelas seolah memantrai ramuan ajaib kopi hitamnya itu.
Bila pertanyaan adalah sebuah makanan, maka pertanyaannya itu makanan yang sudah basi. Dan jawabanku selalu sama seperti yang sudah-sudah. Apapun kondisiku di hari sabtu itu, kejadian dahsyat sedahsyat-dahsyatnya atau malah tawar hambar seperti air, aku selalu menjawab, ”aneh, seperti kopimu.”
Tak banyak yang kuketahui tentangnya. Dari uraian penjual warkop saat kuinterogasi di siang hari, kawanku dalam PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA itu adalah seorang salesman alat-alat kesehatan. Saban hari ia berkeliling perumahan mewah menawarkan produk dari pintu ke pintu.
Aku mengenalnya dua bulan silam. Aku tak tahu siapa yang mulai menyapa. Tahu-tahu kami sudah terlibat dalam sebuah percakapan, yang menurutku adalah percakapan yang paling tidak penting sedunia.
“Tujuh belas.” katanya.
“Hmmm… aku tak tahu.”
Tujuh belas pasangan artis yang cerai dalam setahun ini.” Dia mengangguk-angguk menerangkan.
“Luar biasa.” Sahutku.” Berarti sebulan minimal satu pasang artis bercerai.”
“Bila rata-rata punya dua anak, berarti ada tiga puluh empat anak calon orang stress, calon maniak pembunuh sadis berkepribadian ganda akibat broken home.”
“Ho oh.” Aku mengamini.
“Sembilan.” Giliranku menyebut angka.
“Sembilan kali kau kentut selama kita disini?” tebaknya.
“Bukan, itu enam kali. Sembilan kali bosku menelponku sepanjang hari.”
“Biasa saja.” Ia meremehkan.
“Itu karena kau tak tahu bosku. Dia menelpon cuma kalau ada masalah. Dan setiap kali pasti disertai dengan caci maki yang murah hati. Seluruh hewan yang ada di kebun binatang, tak ada satu pun yang luput diabsennya”
“Wah, pasti bikin senewen.” Ia bersimpati.
“Bukan main. Rasanya seperti sembilan kali ditembak mati.” kataku.
“Tiga.”
“Tiga kali terpeleset di WC?” giliranku menebak.
Dia menggeleng. Menang. “Tiga kali aku menambal ban motorku hari ini. Tiga kali paku sebesar pensil sukses merobek ban dalam. Tiga kali hanya untuk sekali perjalanan dari rawamangun ke cililitan lewat by pass.”
“Gila!” aku memekik,” Penjahat. Tak punya otak. Mengambil untung dengan menebar paku sama saja seperti vampir.”
“Memang gila!” dia setuju, melampiaskan rasa kesalnya dengan membantai pisang goreng yang ke lima.
“Lima.” Kataku misterius.
“Apa?” tanyanya, menyerah sebelum mencoba. Tak urung ia melihat kilatan nakal di mataku.
“Lima pisang goreng yang kau makan sejauh ini.” Kataku penuh kemenangan. Ia hening beberapa saat , lalu..
“Salah. Enam.” Katanya sebal sambil menyorongkan pisang goreng ke enam ke dalam mulut.
Duhai kawan, PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA ini akan berhenti tepat pukul dua. Kami akan saling mengangguk tipis satu sama lain, lalu beranjak pulang tanpa ucapan selamat-tinggal atau sekedar sampai-jumpa-lagi. Namun seolah telah mengikat perjanjian gaib, seminggu kemudian aku menemuinya lagi, di tempat yang sama, mengulang ritual yang sama, memesan makanan yang sama. Lalu saling melontarkan angka-angka. Tugas yang lain adalah menebak maksud angka tersebut. Sejauh ini, belum ada yang berhasil menebak angka yang lain.
“Tujuh.” Katanya. Kuperhatikan ia sering memberi tebakan angka-angka ganjil.
“Tujuh kali ke kamar kecil dalam sehari?”
“ Bukan. Sudah tujuh wanita yang aku tembak. Dan tujuh-tujuhnya menolakku.”
“Kenapa? Kau tidak jelek-jelek amat.”
Ia mengedikkan bahunya.
“Tragis.” Aku berkomentar.
“Tujuh.” Kataku. Ia melirikku. Curiga. Selama ini belum pernah kami membalas tebakan dengan memberikan angka yang sama.
“Tujuh bidadari Joko Tingkir?”
Aku menggeleng puas.
“Tujuh wanita yang sudah kau tembak, seperti aku.”
“Salah, terbalik. Tujuh wanita yang sudah menembakku. Tujuh-tujuhnya kutolak.”
“Sialan.” Ia menyerumput kopinya dengan kesal. Aku tak tahu, apakah karena salah menebak, atau keki dengan peruntunganku.
Dalam permainan ini tak ada aturan yang jelas mengenai angka. Terkadang angka tentang pencapaian sesuatu dalam waktu tertentu. Kadang jumlah sesuatu yang tidak lumrah. Terkadang rata-rata sebuah aktivitas yang tidak lazim. Namun seolah ada perjanjian gaib. Kami tak pernah menyebut angka desimal.
Satu yang kuperhatikan, ia sepertinya berusaha keras memberi aku tebakan angka-angka yang hebat, seperti data-data keuangan, rekor-rekor dunia, atau hasil penelitian terbaru. Aku yakin ia mempersiapkan matang-matang setiap tebakannya, mungkin pergi ke internet atau ke perpustakaan.
Misalnya waktu itu ia berteriak lantang, DUA. Ternyata itu hasil penelitian yang menyatakan dua dari tiga pria beristri pernah berselingkuh. Atau lima belas. Untuk lima belas orang yang masuk ke dalam mobil vw yang tercatat dalam buku rekor dunia.
Sementara tebakanku biasanya sangat remeh, cenderung tak penting.
Malam ini acara tivi memulu menampilkan berita kematian seorang mantan presiden. Aku mengerutkan diri di atas bangku panjang di pojok biasa aku duduk, di balik kaleng krupuk berwarna hijau.
Malam ini aku mencium bau-bauan yang berbeda. Bukan parfum atau bau tubuh. Tapi lebih seperti insting spiderman. Seperti bau-bauan di udara sebelum badai hebat. Dari sudut mata ku melihat ia menekuni gelasnya. Dan betapa tercengangnya aku. Gelasnya bukan berisi kopi hitam ajaib seperti biasa. Tapi teh manis hangat. Teh celup lagi, bukan teh tubruk.
Hari ini ia yang memulai permainan. Ia melemparkan sebuah angka. Aku menebak. Salah. Dia mengangguk puas. Aku melepaskan sebuah angka. Membalas. Dia menebak. Salah. Aku tersenyum dua tingkat, karena seperti biasa, angkaku adalah angka-angka remeh yang tak diduganya, tapi sebenarnya dekat dengannya. Angka-angka seperti:
Empat botol saus.
Tujuh puluh delapan, usia mantan presiden mulia tutup usia.
lima puluh dua minggu dalam setahun.
dua belas tusuk gigi yang tersisa di botol tusuk gigi di hadapannya.
Delapan buah tahi lalat di wajahnya.
Dan mukanya semakin kelabu.
“Sebelas.” Kataku lagi. Sebentar lagi pukul dua. permainan akan selesai. Ini tebakan pamungkasku. Pasti akan memukulnya dengan keras. Aku cepat-cepat menghapus senyum jahil dari wajahku.
Namun tak seperti biasanya, malam ini ia memandangku. Menatapku kuat-kuat. Matanya yang sipit tipis itu seperti pisau pembunuh berantai. Aku merasa sedikit takut.
Lama berselang, tiba-tiba ia tertawa. “Hahahahah.” Keras sekali, sampai-sampai cicak yang menempel di poster trio macan jatuh terkejut.
“Kenapa tertawa?” aku semakin bingung.
Dia tidak menjawab, malah menatapku kian kuat. Tak sadar tubuhku menggeletar oleh sensasi horror yang menyelimuti aura wajahnya. Tak biasanya ia begini.
“Kau pikir aku bodoh.” Katanya lirih penuh perasaan. Entah kenapa seperti suara reruntuhan.
Mulutku terbuka, tak siap dengan reaksinya.
“Kau pikir aku bodoh, hah?” ulangnya, kali ini dengan suara menggelegar. Penjaga warkop meloncat terkejut, bangun dari tidurnya.
“Aku memang tak berpendidikan. Cuma lulus SD. Menulis pun payah. Tapi aku bukan orang bodoh. Kau pikir aku tak tahu kau permainkan. Kau pikir mentang-mentang lulus S1, sarjana, kau boleh merendahkan orang lain.”
“Kuberitahu ya bung, aku lebih pintar dari kau. Tak ada gelar-gelaran. Titel. Embel-embel sialan."
"Yang penting itu pengalaman", teriaknya, "Kemampuan menjual. Memberi keuntungan buat perusahaan. Bekerja dua belas jam sehari, tujuh hari seminggu. Jadinya yang berhak naik jabatan itu seharusnya aku, bukan anak kemaren sore, masih bau kursi kuliahan sok tau yang tahu-tahu jadi supervisor, jadi manajer.”
“aku sudah berjuang. Dua belas tahun aku mengabdi. Lima tahun berturut-turut meraih predikat Penjual Terbaik. Pemegang rekor kunjungan tiga puluh delapan rumah dalam sehari. Menyumbang empat puluh satu persen penjualan dalam sebulan. Nol hari cuti. Bekerja nyaris tujuh hari seminggu. Tapi mana? MANA?. Selamanya aku jadi bawahan.
Jadi kuli. Jadi KOTORAN KUCING!! JADI ANGKA-ANGKA!!!”
Napasnya berkejaran. Matanya menatap garang. Ia diam beberapa saat, tapi badai belum berlalu. Aku menanti, takut dan panik.
“Sebelas katamu. Aku tahu, aku bisa menebaknya. Sebelas adalah untuk jumlah pertemuan kita hingga malam ini.”
Aku tercengang. Takjub. Bagaimana dia bisa menebaknya?
Dengan dramatis, ia menggeser sedikit topinya, tersenyum penuh kemenangan melihat raut wajahku yang tak bisa berbohong. Ia merapatkan ujung-ujung jaketnya lalu beranjak keluar.
Dan itu adalah pertemuan terakhir kami. Akhir riwayat PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA.
Dan aku bahkan belum tahu namanya.
Tapi toh itu biasa, tak penting. Di kota besar seperti Jakarta, kota dengan nurani setipis kertas dan bisa dibeli dengan kartu kredit, nama tidaklah penting.
Yang terpenting adalah angka-angka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar