Jumat, Januari 28, 2011

Biasanya Mudah Saja, Tapi Tidak Denganmu

biasanya
mudah saja
sekejap mata
taklukkan pena


menari pena di atas kertas
tangkas
lepas
bebas


lalu tercipta
rangkaian kata
puji puja
untuk wanita
penggetar jiwa


tapi tidak denganmu


aku beku
kelu
di ujung waktu


denganmu
tak ada gombal
tak ada sanjung
tak ada mendung
tak ada alur rumit tentang indahnya alam yang sepadan dengan pesona kedua matamu atau lembut suaramu bagai mantra mengalir dari bibir-bibir suci malaikat bersayap perak atau dengung rindu menghantam bagai lebah yang pekakkan telinga setiap kali namamu terucap atau dirimu umpama bunga yang mekar mewangi di taman hati atau celoteh tentang perih yang mengisi waktu bagai perjalanan berabad-abad karena cinta makin menghebat atau ledakan supernova porak porandakan semesta jiwa karena hati gemakan dirimu dirimu dirimu dirimu dan dirimu…….


tak ada semua itu
tak ada
tidak denganmu


yang ada
aku
menginginkanmu


itu saja

Selasa, Januari 25, 2011

Cerita Cinta Pagi Ini

istriku,
pagi ini aku tidak terbangun dari lelap tidur oleh panggilan azan
melainkan oleh bisikmu di telinga
"Pak'e... subuh."
betapa aku terenyuh
kau dalam balutan daster lusuh


aku bergegas menyempurnakan wudhu
kita lalu berjamaah
dalam cengkrama cinta
kepada Sang Maha Kuasa


sambil menunggu waktu berangkat kerja
aku menikmati pagi
sofa tua
segelas teh hangat
roti dingin
dan kau taruh kepalamu di dadaku, istriku


di layar tivi yang berpendar gundah
suporter tawuran dengan warga
lalu berita susul menyusul
tentang para ibu yang menjerit
harga cabe selangit
tentang pemerintah yang lamban
dan politisi yang tak sabar
ingin berkuasa


aku menarik napas panjang
dunia kian tak ramah
bagi mereka yang lemah


kulontarkan kegalauan ke udara
kau dengarkan dengan setia
lalu bisikmu di telinga
"Pak'e... Ndak berangkat? Nanti telat."


Istriku,
betapa aku beruntung memilikimu

Minggu, Januari 16, 2011

Menunggu Bidadari

menunggu bintang
menanti komet halley
menunggu bidadari
ledakkan semesta hati

Sepuluh Kali

sepuluh kali jatuh
sepuluh kali luka
sepuluh kali jauh
asa ditikam nyata

sepuluh kali kalah
sepuluh kali duka
meradang hati lelah
menatap tepian senja

sepuluh kali sakit
sebelas kali bangkit

Rabu, Januari 12, 2011

atas nama hujan yang turun di puncak malam

atas nama hujan yang turun di puncak malam
dan layar tivi yang berpendar temani sofa muram
atas nama gurat perjuangan di dinding putih
dan obat nyamuk semprot yang pekatkan udara letih


ini tekadku


atas nama mata yang enggan terpejam
karena pikiran melanglang hingga langit ke-enam
atas nama masa depan yang sesamar kabut petang
namun penuh harapan sebanyak kau hitung bintang


aku
ingin slalu bersamamu
tak akan menyiakanmu
selamanya

Minggu, Januari 02, 2011

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (delapan)


-delapan-
Daftar Yang Tidak Ben Sukai



Daftar Yang Tidak Aku Sukai:

    1.    Terong Ungu.
    2.    Bola Kasti.
    3.    Di-gesper.
    4.    Tidak punya uang.
   5.    Orang menyentuh kepalaku.
   6.    Mata panda Bunda
 

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (tujuh)


-tujuh-
Duk-Duk

Aku, Artum-Tum dan Ladit jarang sekali rukun.
Artum-Tum sebenarnya sih oke. Meski dia anak perempuan, dia tidak keberatan bila ku ajak bermain permainan anak laki-laki, seperti main bola atau main kelereng. Dia tidak suka memakai rok. Dia selalu memakai celana pendek selutut dan kaus yang kebesaran di tubuhnya karena sebenarnya itu kaus milikku.
Tapi itu masalahnya, Artum-Tum menyukai semua yang aku dan Ladit sukai. Bahkan, Artum-Tum menyukai semua yang anak laki-laki sukai. Artum-Tum tidak suka boneka, tapi suka robot-robotan. Artum-Tum tidak suka alat masak-masakan yang Ayah beli, tapi suka mobil-mobilan pemadam kebakaran milik Ladit. Ayah membelikan Artum-Tum rumah boneka. Artum-Tum mengubah rumah boneka itu menjadi kastil untuk benteng pertahanan saat kami bermain perang-perangan.
Kata Bunda, Artum-Tum itu anak perempuan. Tapi aku curiga, mungkin saja Bunda salah. Siapa tahu, iya kan?
*
Kalau tidak salah, ini sudah terjadi lama sekali.
Ketika itu aku mengajak Ladit bermain ke lapangan kecil, tepat di belakang komplek rumah mewah. Lingkungan tempat tinggalku memang berada di belakang komplek rumah mewah. Di ujung lapangan ada gundukan sampah. Orang komplek sering membuang sampah disitu. Kalau beruntung, aku sering menemukan harta karun. Aku pernah menemukan robot-robotan yang tangannya sudah putus, mobil-mobilan kecil, dan patung tentara seukuran jempol terbuat dari plastik. Aku bahkan pernah menemukan patung anjing lucu terbuat dari kaca. Sayang, Artum-Tum sudah memecahkannya.
Hari itu untuk pertama kali aku menunjukkan kepada Ladit tempat aku mencari harta karun. Bila aku berdua dengan Ladit, mungkin nanti bisa menemukan harta karun lebih banyak. Aku mengais-ngais tumpukan sampah dengan ujung sendal. Ladit mengais-ngais dengan kayu bekas kemoceng.
”Bang Ben, lihat deh!” Ladit menemukan sesuatu. Sebuah bola kasti. Aku memantulkannya ke tembok tinggi yang memisahkan lapangan dengan komplek. Bola itu memantul dengan indah. Aku menyukainya. Aku suka segala sesuatu yang berbentuk bulat dan bisa memantul-mantul.
Sampai di rumah, Ladit memintaku mengembalikan bola kasti itu kepadanya.
”Enak saja. Ini punya Ben.” kataku. Jarang ada anak-anak yang punya bola kasti. Di lingkunganku tinggal, hanya Aryo yang punya. Di sekolah, cuma Riza yang sering membawa bola kasti.
”Kan Ladit yang menemukan.” protes Ladit.
Aku berpikir keras. ”Kan Bang Ben yang mengajak. Itu kan tempat harta karun Bang Ben.”
”Bang Ben curang. Itu punya Ladit. Ladit yang nemu-in.”
Sampai sore menjelang habis, Ladit masih meminta bola kastinya. Eh, salah...bola kastiku.
”Kembalikan, Bang Ben!” suara Ladit mulai kencang. Aku cuek. Aku memantulkan bola itu ke dinding rumah. Tiba-tiba Ladit menyerobot berusaha merebutnya. Untung aku lebih cepat. Ladit gagal merebut bola kastiku.
Ladit lalu berusaha merebut bola itu dari tanganku. Aku mengelak. Tahu-tahu kami sudah mulai bergumul di lantai.
”Kembalikan bola Ladit.”
”Tidak, ini punya Ben”
”Bola Ladit!”
”Bola Ben!”
”Ladiiiit!”
”Beeeeeen!”
Bola di tanganku terlepas, lalu bergulir menjauhi kami yang bergelut seru. Ladit bangun, berusaha mengambil bola tersebut. Aku berusaha menghalangi. Ladit itu adikku, tapi badannya lebih besar dariku. Lebih besar sedikit.  Aku berusaha menghalangi Ladit setengah mati. Ladit sangat kuat.
”Asik. Tum-Tum nemu bola!” Artum-Tum tiba-tiba muncul dan memungut bola itu. Sedari pagi, Artum-Tum memang tidak di rumah. Artum-Tum pergi bersama Ayah, tak tahu kemana.
“Jangan Tum-Tum. Itu bola Ladit.” Ladit berhasil membebaskan diri dariku. Ladit mendekati Artum-Tum.”Kembalikan!”
”Ini punya Tum-Tum!” Tum-Tum mennyembunyikan bola itu ke belakang badannya.
Aku sudah bilang kan tadi, itu susahnya dengan Artum-Tum. Artum-Tum menyukai apa yang aku dan Ladit sukai. Dan yang Artum-Tum sukai harus menjadi milik dia. Harus punya dia. Kenapa sih dia tidak menjadi anak perempuan normal saja.
Aku melihat Ladit semakin kesal. ”PUNYA LADIT!” Ladit mengaum marah. Rupanya Ladit sudah tak tahan lagi. Ladit sudah berusaha sabar saat aku mengambil bola kastinya. Dan kini Artum-Tum juga mau mengambil bola kastinya.
Tanpa peringatan, Ladit langsung merebut bola itu dari tangan Artum-Tum. Artum-Tum melawan. Tapi badan Tum-Tum jauh lebih kecil. Kali ini Ladit tak perlu bersusah-susah. Sekali hempas, Ladit berhasil merampas bola itu. Artum-Tum terdorong hingga jatuh.
”Huaaaaaaaa. Huaaaaaaaa. Huhuhuhu!” Artum-Tum mulai menangis kencang. Air matanya mengalir deras seperti air terjun.
Ladit tak peduli. Ladit melempar-lempar kecil bola itu ke udara. Puas. Akhirnya Ladit memiliki kembali bola kastinya. Tapi hanya untuk sebentar saja, tidak untuk lama. Karena kemudian.....
”Radit..... kenapa Tum-Tum menangis?” suara Ayah di depan pintu, pelan tapi mengangetkan aku dan Ladit. Rupanya Artum-Tum pulang bersama Ayah. Tapi Ayah masih di luar sementara Artum-Tum masuk ke dalam rumah. Ayah masuk ke dalam rumah pas saat Ladit mendorong Artum-Tum.
“Ini Yah. Bola Ladit. Tum-Tum ambil bola Ladit.” kata Ladit.
”Bola Tum-Tuuuuuummmm. Huaaaaa. Huhuhuhuhu.” Artum-Tum menangis semakin keras.
”Radit, kembalikan bola Tum-Tum.” kata Ayah. Aku diam saja. Aku tak berani membela Ladit, memberitahukan kepada Ayah bola siapa itu sebenarnya.
”Tapi Yah. Ini bola Ladit. Ladit nemu di lapangan. Benar Yah. Tanya Bang Ben, deh.” Ladit bersikeras. Ayah mengalihkan pandangannya kepadaku. Aku cuma diam. Menunduk.
”Kembalikan!” Kata Ayah. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
Ladit mendengus kesal. Ladit lalu melakukan kesalahan terbodoh. Kesalahan paling bodoh. Super bodoh. Ia melemparkan.... bukan, menimpukkan bola itu ke arah Artum-Tum.
’HUAAAAAAAAAA!” Artum-Tum menangis sekeras-kerasnya. Bola itu mengenai kepala Artum-Tum.
Aku membayangkan ikat pinggang. Aku membayangkan gagang sapu. Aku membayangkan benda-benda lain yang bisa Ayah pergunakan untuk mencambuk kaki Ladit hingga Ladit jatuh tersungkur. Mataku menjerit panik mencari Bunda. Bunda mana? Bunda mana?
Aku melihat Ladit menyadari kesalahannya. Aku melihat ketakutan yang sama yang aku rasakan. Tanpa disadari, Ladit bergerak mundur menjauhi Ayah. Gemetar.
”Ladit, kamu kok begitu dengan adikmu?” kata Ayah lembut. Tidak, apa aku tidak salah dengar? Ayah berkata dengan sangat lembut. Apa aku salah dengar? Mungkinkah Ayah tidak marah?
”Sini Ladit, Ayah mau ngomong.” bujuk Ayah lembut. Ya, Ayah tidak marah. Meski begitu Ladit masih ragu-ragu.
“Sini, jangan takut. Ayah cuma mau ngomong.” Bujuk Ayah sekali lagi. Ladit pelan-pelan maju mendekati Ayah. Ayah lalu mengusap-usap kepala Ladit penuh sayang.
”Begini Ladit.” kata Ayah sambil masih mengusap kepala Ladit.”Kamu tidak boleh begitu kepada Tum-Tum. Kan sakit, kena kepalanya. Kamu tahu tidak rasanya. Sini Ayah kasih tahu.”
Tiba-tiba Ayah menjenggut rambut Ladit keras-keras. Ladit tersentak kaget. Ayah lalu menyeret Ladit ke tembok dengan tangan masih menjenggut rambut Ladit. Serasa belum puas, Ayah mulai membenturkan kepala Ladit ke tembok. ”NAH, SAKIT KAN!” Kata Ayah geram, nyaris berteriak.
Ayah terus membenturkan kepala Ladit ke tembok. Berulang-ulang. Berulang-ulang.
Duk.
Duk.
Duk.
Pada akhirnya Bunda datang. Ia berhasil menghentikan Ayah. Ia berhasil menarik Ladit ke kamar. Padahal Ayah sangat besar, sementara Bunda kecil sekali.
*
Kalau tidak salah, itu sudah terjadi lama sekali.
Kepala Ladit tidak apa-apa. Cuma sedikit merah di kening, dan sedikit sakit bila disentuh. Keesokan harinya Ladit sudah ceria lagi. Bermain dengan teman. Bermain denganku. Bermain dengan Artum-Tum.
Artum-Tum sendiri cuma bertahan dua hari dengan bola kasti itu. Selanjutnya ia tidak memperdulikan bola kasti itu sebagaimana aku dan Ladit tidak memperdulikan bola itu lagi. Aku tidak tahu dimana bola sial itu sekarang berada. Mungkin sudah Bunda buang.
Bila ada orang yang ingin menyentuh kepalaku, mengusap-usap rambutku, aku kembali ingat peristiwa bola kasti itu lagi. Aku kembali ingat bagaimana Ayah membujuk Ladit dengan lembut untuk mendekat. Aku kembali ingat teriakan kaget Ladit karena rambutnya dijenggut. Aku kembali ingat suara kepala menghantam tembok. Duk.

Aku tidak suka kepalaku disentuh.

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (enam)


-enam-
Si Cantik Inne Byuti

Kata orang, Bunda cantik. Riza pernah melihat Bunda saat Bunda mengambil raportku di sekolah. Kata Riza, Bunda cantik. Eva juga pernah melihat Bunda. Kata Eva, Bunda cantik. Pak Maman penjaga sekolah bilang Bunda itu geulis. Geulis itu bahasa Sunda. Geulis berarti super duper cantik sekali.
Pulang sekolah aku langsung mencari Bunda. “Bunda, cantik itu apa?” tanyaku kepada Bunda. Bunda sedang menjahit baju. Suara mesin jahit meraung-raung keras sehingga aku harus sedikit berteriak kepada Bunda. Bunda menghentikan menjahit baju sejenak. Dia berpikir keras. Telunjuknya memukul-mukul bibir. Itu gaya Bunda bila sedang berpikir.
”Hmmmm... apa ya?” tanya Bunda ke diri sendiri. (Betul kan, Bunda juga bingung. Apalagi aku).” Begini... cantik itu indah, enak dilihat, bagus, bentuknya menarik hati. Apa ya kalau istilah kamu? Keren. Ya, cantik itu juga bisa berarti keren.”
”Berarti Ben cantik ya, Bun? Tanyaku lagi. Bunda tertawa kecil. Dia mengulurkan tangan hendak mengelus kepalaku. Tapi urung ketika melihat aku mundur. Aku tidak suka kepalaku dipegang-pegang.
”Tentu tidak, Ben.” Kata Bunda lembut. Senyum manisnya masih tertinggal di pipi. ”cantik itu istilah untuk perempuan. Kalau untuk laki-laki, istilahnya tampan. Nah… kamu tahu tidak… menurut Bunda, kamu itu anak Bunda yang sangat tampan.”
Bunda menjulurkan tangan lagi untuk mengelus kepalaku. Kali ini aku tidak bergerak mundur. Kali ini Bunda boleh mengelus kepalaku. Sekali-sekali, aku boleh mengijinkan orang lain menyentuh kepalaku, terutama bila orang itu sudah mengakui bahwa aku tampan.
”Ngomong-ngomong, kenapa kamu bertanya tentang cantik, Ben?’ Bunda penasaran.
”O..O.. Itu Bunda. Riza bilang, Bunda cantik. Eva bilang, Bunda catik. Pak maman juga bilang begitu. Kata semua orang di sekolah, Bunda cantik.” aku berkata santai. ”Ben setuju. Bundaku memang cantik.”
Aku suka khawatir dengan Bunda. Kadang-kadang, pipi Bunda bisa tiba-tiba berubah warna menjadi merah, seperti tomat! Persis seperti sekarang ini. Kapan-kapan Bunda perlu memeriksakan diri ke dokter.
*
Semenjak aku sudah lancar membaca, aku kini punya hobi baru. Membaca koran atau majalah. Bukan kolom berita. Aku tidak suka kolom berita, tulisannya kecil-kecil. Seperti semut upacara bendera. Aku suka membaca bagian iklan. Iklan itu keren. Tulisannya besar-besar dan ada gambar warna-warni. (Sebenarnya aku juga suka komik, terutama komik Asterix. Asterix itu jagoanku. Aku pernah meminjam komik Asterix dari Eva. Ceritanya seru. Andai aku bisa jadi Asterix, aku akan........)
Tapi Bunda tidak suka aku membaca komik. Kata Bunda, membaca komik bisa membuat aku malas belajar.
Kini setiap malam, selesai belajar atau mengerjakan pe-er, kami punya kegiatan baru. Aku, Artum-Tum, dan Ladit berkumpul di ruang depan. Di hadapan kami berhamparan koran atau majalah dalam aneka bentuk, ukuran, dan... bau. Maklum, koran dan majalah itu aku pinjam dari Bude’ Nunung, penjual sayuran tetangga depan rumah. Bude’ Nunung menggunakan kertas untuk membungkus barang belanjaan orang yang belanja di warungnya.
Aku suka iklan yang ada gambar mobilnya. Suatu hari aku akan membeli salah satu dari mobil-mobil keren itu. Artum-Tum suka iklan yang ada gambar wanita cantik memakai baju yang bagus. Dengan penuh semangat Artum-Tum membuka halaman majalah, helai demi helai. Ia bersorak setiap menemukan gambar wanita cantik, lalu buru-buru menyorongkan kepadaku untuk dibaca.
Beda dengan yang lain, Ladit senang iklan yang ada gambar uangnya. Mata Ladit langsung kelap-kelip merah kuning hijau setiap kali menemukan iklan yang ada gambar uang. Sama seperti Artum-Tum, Ladit buru-buru menyorongkan majalah tersebut kepadaku untuk dibaca.
Kegiatan baru kami itu seru sekali. Aku akan membaca iklan yang kami anggap bagus. Aku membacanya keras-keras, penuh penjiwaan. Begitu selesai membaca, Artum-Tum dan Ladit akan bertepuk tangan dengan heboh sekali. Mereka melonjak-lonjak gembira, lalu buru-buru mencari iklan berikutnya. Bila sudah asyik, kami bisa terus begitu hingga jam sembilan malam. Kami bertiga terlihat sangat kompak.
Tapi memang, pada mulanya sih rusuh. Awalnya, masing-masing kami berebut agar iklan pilihannya yang dibaca. Tidak bisa dong, mulutku kan cuma satu. Hampir saja kami berantem. Untunglah, Bunda punya ide yang super keren. Bunda menyuruh kami untuk... saling bergantian.
Bunda memang hebat. Dia selalu punya ide keren.
Saat ini adalah giliran Artum-Tum memilih iklan. Artum-Tum menyorongkan kepadaku iklan bergambar seorang gadis cantik memakai gaun berwarna merah strawberry. Aku membacakan iklan itu dengan keras dan penuh penjiwaan sampai kemudian aku menemukan kata yang sulit.
“In..Ner.... iner. Iner apa ya Dit?”  Tanyaku kepada Ladit. Aku belum pernah mendengar kata iner sebelumnya. Ladit juga menggeleng tak tahu.
“Kamu tahu, Tum-Tum? Iner itu apa?”
Artum-Tum berpikir sejenak. Telunjuknya memukul-mukul bibir, mencoba meniru gaya Bunda. Bunda seperti itu bila berpikir.
“Ahaaa!” Artum-Tum berseru dengan mata melotot dan tangan meninju udara. Kali ini ia meniru gaya Ayah bila Ayah berhasil menemukan jawaban yang sulit saat mengisi teka-teki silang.
“Tum-Tum, kamu tahu artinya?” tanyaku penuh harap.
Artum-Tum menggeleng. “Ngga.”
Kadang-kadang aku tidak mengerti wanita.
Aku melanjutkan ke kata berikutnya. Tapi ternyata, kata kedua jauh lebih sulit.
“Be... a..u...teye....Beyau...teye..... Beyaw teye...” aku mengeja dengan susah payah. “Beyaw teye apa ya?” Aku melirik Artum-Tum dan Ladit. Mereka diam dengan mulut keduanya nyaris menganga. Hmm... berarti  mereka juga tidak tahu.
“Bunda, ini apa ya?” aku beringsut ke mesin jahit Bunda. Bunda menghentikan sejenak menjahit baju. Aku menunjukkan dua kata sulit itu kepada Bunda.
“O..O.. Ini bahasa Inggris.” Kata Bunda. Pantas saja. Aku menyerah kalau ada inggrisnya.
“Kalau tidak salah, dibacanya inne byuti.” Lanjut Bunda.
Bahasa Inggris itu memang aneh. Tulisannya INNER BEAUTY, tapi dibacanya Inne byuti.
Aku kembali kepada Artum-Tum  dan Ladit. Aku membacakan seluruh kata dalam iklan itu, kali ini  dengan lengkap. “VERONA... sabun kecantikan. Mencerahkan kulit cantik indah sempurna. Membangkitkan pesona Inne...byuti... anda.” Aku membacakan dengan keras dan penuh penjiwaan.
Seperti biasa, Artum-Tum  dan Ladit bertepuk tangan heboh. Kali ini Artum-Tum mengakhiri tepuk tangan dengan meloncat-loncat sambil berseru, Yipi Yipi Yipiyeeee!
Meski sudah berhasil membaca kalimat iklan itu dengan baik, aku masih tidak puas. “Bunda, Inne Byuti itu apa?” tanyaku lagi kepada Bunda.
“Hmmm, apa ya?” telunjuk Bunda memukul-mukul bibir. “Bunda kurang paham bahasa Indonesianya, Ben. Tapi kalau menurut Mba Susi... itu loh, yang suka menawarkan kosmetik ke Bunda dan tetangga-tetangga. Kalau menurutnya, inner beauty itu, kecantikan yang datangnya dari dalam.”
Bunda kini meletakkan jahitan di tangannya. Ia mendatangi kami bertiga, lalu berkata,”Cantik itu ada dua. Cantik dari luar dan cantik dari dalam.  Kalau kita punya wajah yang cantik atau tampan, itu cantik dari luar. Kalau kita baik hati, suka menolong, rukun sama adik dan kakaknya, menurut dengan yang Bunda bilang, itu namanya cantik dari dalam. Dari dalam hati.”
“Inner beauty artinya kamu punya hati yang cantik.” Kata Bunda lagi. “Nah.. anak Bunda kan semuanya baik, suka mendengar kata-kata Bunda dan rukun sama kakak dan adiknya. Itu berarti anak-anak Bunda punya inner beauty.”
“Horeeeee. Kita punya inne byuti..” Artum-Tum bersorak-sorak. Ladit bertepuk tangan sambil meloncat senang. Aku protes tak setuju.
“Ben kan tidak cantik Bunda, tapi tampan.” aku bersungut-sungut sebal.
*
Aku pernah mendengarkan seorang bapak-bapak temannya Ayah mengobrol dengan Artum-Tum. Bapak itu berbicara dengan suara dilucu-lucukan, dengan kata-kata di-cadel-cadel-kan. Mulutnya monyong kesana-kesini agar Artum-Tum tertawa. Bila Artum-Tum bertanya suatu hal, Bapak itu menjawab asal-asalan. “Anak kecil mana ngerti.”kata Bapak itu kepada Ayah.
Aku juga pernah melihat anak seumuranku bertanya kepada ibunya yang sedang belanja. Ibu itu terus saja belanja, mengobrol dengan ibu-ibu yang lain. Ibu itu tidak menjawab pertanyaan anaknya. Anak itu bertanya lagi... dua, tiga, empat kali. Akhirnya sang ibu dengan sebal menjawab,”Duh kamu brisik banget. Tidak tahu apa Mama lagi belanja. Sudah sana, pergi main!”
Bila aku, atau Artum-Tum, atau Ladit bertanya, Bunda selalu menjawab. Bunda akan berhenti sejenak dari pekerjaannya sampai dengan kami puas mendengar jawabannya. Bunda menjawab semua pertanyaan kami, walau kadang-kadang itu pertanyaan konyol seperti:
Kenapa kalau kita menangis keluar air mata?
Mana yang lebih hebat, Asterix atau Superman?
Apakah di surga ada es pelangi? (yang ini pertanyaannya Artum-Tum)
Memang tidak semua pertanyaan bisa Bunda jawab dengan baik. Tapi tak ada pertanyaan yang diacuhkan.
Tidak ada pertanyaan anak Bunda yang tidak penting buat Bunda.
Meski kami masih kecil, Bunda berbicara kepada kami seperti mengobrol dengan orang dewasa. kata Bunda, anak kecil dan orang gede itu otaknya sama. Yang bedanya cuma di ukuran tubuhnya saja. Aku sih tidak paham maksud Bunda. Tapi menurutku kata-kata Bunda itu kereeeeeen.
Bunda memang keren. Menurutku, Bunda punya hati yang cantik. Bunda punya Inne byuti.
Itu sebabnya aku memasukkan Bunda ke daftar kesukaanku. Memang di dalam daftar kesukaanku, Bunda nomor enam. Tapi di hatiku, Bunda selalu nomor satu.
*

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (lima)


-lima-
Baju Direktur Dan Dasi Merah Biru


Suatu hari Ibu Guru bertanya kepada semua murid,”Apa cita-cita kalian?” Ibu Guru memanggil kami satu per satu. Yang dipanggil harus menjawab apa cita-citanya dan apa alasannya. Monika menjawab mau menjadi polwan, polisi wanita. Bayong ingin menjadi astronot. Poltak ingin menjadi dokter hewan.
“Benyamin Perdana.” panggil Ibu Guru. Itu nama lengkapku. Aku mengacungkan tangan. ”Nah... Ben, apa cita-citamu?”
Tanpa ragu aku menjawab lantang.”Jadi Asterix, Ibu Guru.”
Aku tak mengerti. Kelas menjadi gaduh. Sebagian mentertawakan jawabanku.
Ibu Guru bertanya,”Asterix itu apa, Ben?”
Bayong yang tertawa paling keras menjawab untukku,”Itu komik Bu. Jagoan. Badannya kecil, tapi kuat sekali bila sudah minum cairan ajaib.”
Ibu Guru tersenyum. Kini ia mengerti. ”Itu bukan cita-cita Ben. Yang Ibu maksud, bila besar nanti kamu mau jadi apa? Mau bekerja menjadi apa? Dokter, Hakim, Tentara, atau apa?”
Ibu Guru berbicara kepada seisi kelas, ”Anak-anak, kita harus punya cita-cita. Buatlah cita-cita setinggi mungkin. Kalian bisa menjadi apa saja. Jangan takut. Jika kalian belajar sungguh-sungguh, kalian bisa menggapai cita-cita kalian.”
Sampai di rumah, aku bertanya kepada Bunda. “Bunda, tadi di sekolah Ibu Guru bertanya cita-cita Ben kalau sudah besar mau jadi apa. Memang kalau sudah besar, kita bisa jadi apa saja ya, Bun?”
Bunda yang sedang menjahit baju berhenti sejenak. Ia tersenyum lalu mengulurkan tangannya untuk mengelus kepalaku. Aku bergerak mundur. Aku tidak suka kepalaku dipegang-pegang.
“Betul Ben.” jawab Bunda.
“Bunda dulu cita-citanya jadi penjahit ya?” tanyaku lagi.
Bunda tertawa kecil. “Bukan Ben. Dulu Bunda tidak terpikir punya cita-cita. Bunda juga malas belajar. Makanya sekarang Bunda seperti ini. Miskin. Nah, kamu jangan tiru Bunda ya? Kamu harus belajar yang rajin. Jadi contoh yang baik buat adik-adik. Biar nanti hidupmu tidak susah seperti Bunda. Biar tercapai cita-citamu.”
Aku mengangguk. Mengerti. Bunda lalu bertanya lagi,” Memangnya kamu cita-cita mau jadi apa?”
“Ben tidak tahu Bun. Tapi Ben ingin punya banyak uang Bun. Biar Bunda tidak perlu menjahit. Biar kita bisa makan rendang setiap hari. Makan pisang goreng setiap pagi.” kataku. Bunda tertawa lagi. Ia kemudian berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau menjadi direktur?” usul Bunda.
“Direktur itu apa Bunda?”
“Direktur itu yang punya perusahaan. Kemana-mana pakai jas dan dasi. Kemana-mana naik mobil. Uangnya banyak dan punya banyak karyawan.” Kata Bunda lagi.
“Kayaknya asik Bunda. Ben mau jadi direktur saja kalau begitu.”
Sorenya aku segera mengumumkan cita-citaku kepada Artum-Tum, Ladit dan teman-teman tetangga. Aku sudah menyiapkan pidato yang sangat keren. Aku mengumpulkan seluruh anak kecil rumah petakan di lingkunganku di bawah pohon sawo depan pos hansip.
”Cita-cita itu penting!” kataku berapi-api. Mata-mata kecil di hadapanku berbinar-binar kagum.
”Kita harus punya cita-cita!” lanjutku lagi lebih galak. Mata-mata kecil itu lebih berbinar-binar.
”Aku bercita-cita mau jadi direktur.” kataku bangga. Itu adalah akhir dari pidatoku yang sangat keren.
Semua tampak kagum mendengar cita-citaku. Rupanya bagi sebagian besar, kata direktur adalah kata yang baru di telinga mereka.
“Tum-Tum juga mau jadi direktur. Kayak Bang Ben.” kata Artum-Tum.
“Tak boleh.” Kataku khawatir. Artum-Tum selalu menginginkan yang aku punya. ”Tak boleh. Perempuan tidak boleh jadi direktur.”
Artum-Tum merenggut. Aku berpikir keras, lalu akhirnya mengalah. ”Ya sudah. Kamu boleh jadi direktur seperti Ben.”
Tapi Artum-Tum berubah pikiran,” Engga ah. Tum-Tum mau jadi pemadam kebakaran saja.” Artum-Tum kagum dengan pemadam kebakaran. Minggu lalu aku, Artum-Tum, dan Ladit menonton kebakaran di kampung sebelah. Artum-Tum melonjak-lonjak gembira melihat api yang sangat besar melalap tujuh rumah kontrakan sekaligus. Artum-Tum malah sempat pulang ke rumah mengambil ember untuk membantu memadamkan api. Untunglah tak ada ember di rumah yang cukup kecil bagi Artum-Tum untuk dibawa.
Keesokan hari sepulang sekolah, Bunda memanggilku. “Coba lihat, apa yang telah Bunda belikan untukmu, Ben!” Bunda mengangsurkan kepadaku sebuah bungkusan.
Aku segera membuka bungkusan itu. Tak sabar. Di dalamnya ternyata sebuah baju kemeja dan dasi berwarna merah biru.
“Ini baju direktur. Dan dasinya.” Kata Bunda. “hadiah buat kamu. Biar tambah semangat belajarnya. Semoga nanti kamu bisa jadi direktur. Simpan yang baik ya. Kamu boleh pakai kapanpun kamu suka.”
Sejak saat itu, setiap sore selesai bermain dan mandi, aku memakai baju direkturku. Lengkap dengan dasi merah biru.  Kesukaanku daftar nomor empat.

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (empat)


-empat-
  Monster Kamar Mandi Di-Gesper


Artum-Tum dan Ladit senang bertualang.  Setiap sore mereka pergi ke lapangan bola di dekat kali. Letaknya cukup jauh dari rumah. Disana mereka bisa sepuasnya bermain pura-pura. Sialnya Bunda selalu menyuruhku untuk menemani Artum-Tum dan Ladit. Kadang-kadang aku malas menemani mereka. Artum-Tum mengajakku bermain pura-pura, tapi aku selalu menjadi penjahatnya. Pura-pura jadi pencuri yang dikejar polisi, atau pura-pura jadi bajak laut yang merampok harta karun, atau pura-pura jadi orang jahat musuhnya pendekar sakti. Terkadang aku heran. Untuk seorang anak perempuan berusia 4.5 tahun, sepertinya Artum-Tum tak pernah kehabisan ide untuk permainan pura-pura-nya.
Kali ini Artum-Tum menyuruhku menjadi penculik. Aku harus menculik Artum-Tum dan meminta tebusan: kartu gambaran 100 biji. Artum-Tum menyuruhku mengikat dirinya di tiang gawang. Matanya kututup dengan sarung yang selalu dibawa Artum-Tum dari rumah setiap kali kami pergi bermain. Sarung itu banyak kegunaannya. Kadang-kadang menjadi sayap superman, atau menjadi penutup kepala saat main ninja-ninjaan.
Ladit selalu menjadi jagoan. Kali ini Ladit kebagian peran menjadi polisi yang akan menyelamatkan Artum-Tum. Dalam kisah ini, polisi itu ternyata juga kekasih wanita yang diculik. Dan ternyata, aku menculik Artum-Tum bukan karena ingin mendapatkan tebusan 100 biji kartu gambaran semata. Aku sebenarnya adalah teman se-kantor Artum-Tum yang diam-diam menyukai Artum-Tum dan ingin menikahinya.  
Aku curiga Artum-Tum mendapat ide dari film cina yang ditontonnya semalam bersama Bunda.
“Oke!” kataku. Aku telah memeriksa tali yang mengikat Artum-Tum. Rasanya sudah cukup kuat. Sarung untuk menutup mata Artum-Tum juga sudah pas, tidak terlalu kencang tapi juga tidak terlalu kendor. Awalnya aku mengikat sarung itu  terlalu kencang dan menutupi seluruh wajah Artum-Tum sehingga ia sulit bernapas.
“Tolooooong! Tolooooong!” Artum-Tum mulai berteriak melengking-lengking. Badannya meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
“Huhuhu... Hiks.. Hiks.” Kini ia menangis. Aku tertawa melihat ulah Artum-Tum. Sangat meyakinkan. Aku yakin, bila ada polisi lewat, pasti aku sudah ditangkap karena dipikir aku penculik sungguhan.
“Kakak jangan ketawa.” Tiba-tiba Artum-Tum menghentikan aktingnya. “Kakak harusnya bilang,’diam kau wanita, atau nanti kau ku bunuh!’. Begituuu.....”
“Oke.” Kataku patuh.
“Diam kau, atau kubunuh!” teriakku mengancam. Artum-Tum menunduk, pura-pura ketakutan. Ia tidak melengking-lengking lagi seperti kereta api. Ia  kini menangis sesugukan. Sangat meyakinkan.
Ladit yang sedari tadi mengendap-endap di semak-semak kini keluar dari persembunyian. Ia mengacungkan ketapel dan berteriak,”Berhenti kau penjahat! Atau ku tembak! Lepaskan kekasihku!” Artum-Tum berteriak-teriak senang. Mata Ladit terus mengawasiku dengan tajam. Ia bergerak perlahan-lahan mendekatiku sambil tetap mengacungkan ketapelnya. Sangat meyakinkan.
Selanjutnya adalah adegan perkelahian. Aku tidak suka adegan perkelahian. Sekeren apapun gerakan yang kubuat, sedasyat apapun pukulan atau tendanganku, pada akhirnya aku harus kalah lalu pura-pura mati. Artum-Tum sudah siap mengingatkan aku bila aku tergoda untuk merubah jalan ceritanya.
Ladit melepaskan pukulan sakti ke arahku. Dengan berat hati aku pura-pura terpukul telak lalu jatuh pingsan. Aku mencoba melakukan gerakan jatuh se-dramatis mungkin. Gerakan lambat. Seperti di film-film.
Karena sudah menang, Ladit dengan santai melepaskan ikatan Artum-Tum. Artum-Tum melonjak-lonjak gembira. Yipi Yipi Yipiye...! Bebas! Bebas!
Saat itu aku punya ide keren di kepalaku.
“HUAAAAAAAAAAA!!!” Aku meraung keras. Aku melompat berdiri. Aku mencakar-cakar udara. Mulutku mernyeringai seram. Artum-Tum tampak kaget sekali. Ia terdiam melihat aku.
“Tanpa kalian tahu, aku sudah memakan pil monster. Kini aku sudah menjadi monster. Monster Kamar Mandi.  Huaaaaaa!” aku melonjak-lonjak buas.”Kini aku akan memakan kalian hidup-hidup. Huaaaaaaa!”
Aku meloncat ke arah mereka. Mulanya Artum-Tum dan Ladit tak mengerti, tapi kemudian mereka paham dan mengikuti permainanku.
“Toloooong! Monster jahat!”  Mereka berlari berhamburan. Ladit berlari berputar-putar seperti mabuk, sementara Artum-Tum berlari sambil menutup matanya dengan sarung pura-pura ketakutan. Dengan semangat aku mengejar mereka berdua. Seru sekali. Aku berhasil menangkap Ladit lalu pura-pura memakannya hingga habis. Setelah puas, aku mengalihkan sasaran kepada Artum-Tum.
‘Tidaaaaaak! Bunda toloooong!” Artum-Tum berteriak-teriak panik, tahu sekarang gilirannya untuk dimakan hidup-hidup.
Tak lama aku berhasil membuat Artum-Tum terpojok. Ia tak bisa kemana-mana lagi. Di belakangnya ada selokan yang cukup lebar dan dalam. Aku menyeringai puas. Tanganku menyeka bibir, seolah-olah air liurku menetes tak terkendali. Lalu aku melompat menangkap Artum-Tum. Tak diduga, Artum-Tum mengelak dengan cara melompati selokan.
Braaaak.
Artum-Tum terjatuh. Ia gagal melompati selokan itu. Kepalanya membentur ujung selokan yang terbuat dari beton. Artum-Tum terbaring lemas di dasar selokan. Darah mengucur dari kepalanya. Sebentar saja air selokan itu yang tadinya bening berubah menjadi merah.
*
Aku ingat daftarku tentang lelaki baik nomor dua. Lelaki baik melindungi wanita. Meski belum sekolah, Artum-Tum juga wanita. Jadi seharusnya aku melindungi Artum-Tum. Artum-Tum adikku. Aku merasa sedih sekali. Artum-Tum kini berbaring di kasur. Kepalanya sudah tidak berdarah lagi. Artum-Tum sudah dibawa ke rumah sakit. Kata Bunda, luka di kepala Artum-Tum sudah dijahit. Ada 5 jahitan.
Kalau suasananya tidak seperti sekarang, aku pasti sudah tertawa campur heran setengah mati. Di ruang depan ada mesin jahit milik Bunda. Setiap hari, bila sedang tidak memasak atau membersihkan rumah, Bunda menjahit baju. Itu pekerjaan Bunda. Sekarang aku mencoba membayangkan bagaimana caranya kepala Artum-Tum bisa dimasukkan ke mesin jahit itu untuk menjahit lukanya. Pasti mesin jahitnya khusus, beda dengan mesin jahit milik Bunda.
Tapi dipikir-pikir lagi, pasti dijahit rasanya sakit. Aku pernah membantu Bunda memasukkan benang ke dalam jarum. Tak sengaja tanganku tertusuk. Rasanya sakit sekali. Aku membayangkan Artum-Tum dijahit. Pasti super sakit.
Aku kembali merasa sedih. Sedih itu tidak enak, rasanya seperti terong bulat.
Ketika aku melihat kepala Artum-Tum berdarah, aku merasa sangat bingung. Ladit bengong melihat Artum-Tum. Sama sepertiku, ia tak tahu harus berbuat apa.
Untunglah ada Pak Haji, pemilik rumah kontrakan tempat aku tinggal. Ia meihat Artum-Tum melompat dan terjatuh. Dengan cepat ia mengangkat Artum-Tum dari dalam selokan lalu membawanya ke rumah sakit dengan menggunakan becak.
Sampai dengan matahari tenggelam aku dan Ladit masih berdiri diam di lapangan bola itu. Tak lama Ayah datang. “Benyamin, Radit, kesini!” hardiknya. Kami mendekat dengan takut. Ayah lalu menjewer telinga kami keras-keras lalu menariknya sepanjang perjalanan pulang. Rasanya kupingku mau putus.
Sesampainya di rumah, Ayah mengambil ikat pinggang. Aku bergidik ngeri. Itu artinya kami akan di-gesper. Ayah menyuruh kami berdiri bersisisan. Ia lalu mencambuk kakiku dan Ladit bergantian dengan ikat pinggang itu hingga kami tersungkur. “Dasar anak nakal! Brandalan!” hardik Ayah lagi.” Kalian apakan adik kalian? Jawab! Kalian ingin bunuh dia ya?”
Aku tidak suka ikat pinggang. Aku tidak suka di-gesper. Rasanya sangat sakit saat kulitnya yang tebal menampar kulit kakiku dengan keras.
Pada akhirnya Bunda berhasil merebut ikat pinggang dari tangan Ayah. Padahal Ayah sangat besar, sementara Bunda kecil sekali.
Ladit sudah tidur. Ia meringkuk di sampingku. Aku makin sedih ketika melihat Ladit. Aku tidak keberatan di-gesper. Aku seharusnya tidak usah merubah jalan cerita, pura-pura menjadi monster kamar mandi. Dengan begitu Artum-Tum tidak perlu berusaha melompati selokan dan terjatuh. Artum-Tum tidak perlu terluka sehingga harus dijahit lima jahitan dengan mesin jahit khusus.
Aku tak keberatan di-gesper. Aku memang salah.
Tapi Ladit tidak salah. Dia seharusnya tidak perlu ikut dijewer sepanjang jalan, tidak perlu di-gesper seperti aku.
Malam itu aku dan Ladit tertidur dengan kaki tertekuk. Perlu dua hari sampai kami berdua bisa berjalan normal kembali.
*

BEN-BEN! BENYAMIN SAYANG (tiga)


 -tiga-
Ngus-Ngus Nakal dan Es Pelangi

Aku sakit. Badanku terasa lemah dan sedikit hangat. Dari hidungku tak henti-henti keluar air kental berwarna kuning kehijauan. Kata Bunda, air itu namanya Ngus-Ngus Nakal .
Ngus-Ngus Nakal memang sangat nakal. Ia keluar di saat yang tidak tepat, misalnya saat aku akan  memakan pisang goreng kesukaanku daftar nomor lima. Sebagian Ngus-Ngus Nakal tumpah membasahi pisang goreng. Rasanya sayang, tapi kata Bunda pisang itu sudah tak enak dimakan. Sepertinya Bunda benar. Aku sempat menggigit sedikit pisang goreng itu, rasanya kini menjadi asin.
Bunda melarangku menyedot kembali Ngus-Ngus Nakal kembali ke dalam hidung. Bunda memberiku sapu tangan. Setiap kali aku merasa Ngus-Ngus Nakal akan tumpah, aku harus membuangnya di sapu tangan. Caranya, aku harus menghembuskan napas kuat-kuat sambil menutup mulut rapat-rapat.
Srooooot!  Begitu caranya.
Gara-gara Ngus-ngus nakal, Bunda tidak mengijinkanku berangkat sekolah. Aku harus tinggal di rumah seharian. Bahkan aku tidak boleh keluar bermain di sore hari dengan adik-adikku dan teman tetanggaku seperti biasanya. Aku sih tidak keberatan. Aku merasa tidak bersemangat untuk berbuat apapun. Bunda menghamparkan kasur di depan tivi sehingga aku dapat tidur-tiduran di depan tivi, kesukaanku daftar nomor satu.
Bencana baru datang di sore hari. Ayah yang sudah seminggu tidak pulang ke rumah, tiba-tiba pulang sambil membawa es pelangi warna-warni satu plastik besar. Aku sangat menyukai es pelangi. Bahkan itu adalah makanan kesukaan kami bertiga, aku, Artum-Tum adikku dan Ladit adikku yang satu lagi. Meski begitu aku tidak memasukkan es pelangi ke dalam daftar kesukaanku. Nanti kalian akan tahu alasannya.
Es pelangi rasanya sangat lezat dan dingin. Kita bisa merasakan rasa strawberi, anggur, dan jeruk jadi satu. Bila sudah habis, stik es-nya bisa kita koleksi. Artum-Tum langsung mengambil dua buah es pelangi, satu dipegang dengan tangan kanan, satu lagi dengan tangan kiri. Ia menjilat es pelangi tersebut bergantian hingga habis. Ladit adikku yang satu lagi mengayun-ayunkan es pelangi lalu memasukkan es tersebut ke mulutnya pelan-pelan seolah-olah es itu adalah helikopter yang akan mendarat.
Tapi Bunda tidak mengijinkanku saat aku akan mengambil es tersebut. Kata Bunda, sakitku tidak akan sembuh jika aku makan es. Ayah mengangkat bahu, lalu memasukkan es pelangi ke dalam kulkas. “Nanti kalau sudah sembuh., baru boleh makan es-nya.” kata Ayah.
Sebenarnya Ayah membeli es pelangi cukup banyak. Tapi Artum-Tum tak hentinya memakan es pelangi warna-warni itu. Setengah jam sekali Artum-Tum membuka pintu kulkas dan mengambil es pelangi yang baru. Lama-lama aku khawatir. Aku segera berhitung. Bila begitu terus, tak ada es pelangi yang tersisa di esok hari. Aku mulai panik.
Setelah berpikir sebentar, aku putuskan nanti malam aku sudah sembuh.
*
Menunggu itu tidak enak, rasanya seperti terong ungu. Aku membuka sedikit mata, melirik jam dinding. Sudah jam sebelas malam. Artum-Tum sudah tidur dari tadi. Begitu juga Ladit. Tapi Bunda masih bicara pelan-pelan dengan Ayah di ruang depan. Aku bergerak-gerak gelisah. Aku sudah memutuskan bahwa sekarang aku sudah sembuh. Nanti bila Bunda dan Ayah sudah tidur aku akan diam-diam menyelinap ke dapur dan makan es pelangi. Aku berbaring gelisah di tempat tidur. Selain sebal menunggu waktu Bunda dan Ayah pergi tidur, badanku mulai terasa semakin hangat. Tapi aku tak khawatir, aku kan sudah putuskan aku sudah sembuh. Setelah makan es pelangi, badanku pasti dingin kembali.
Setengah jam kemudian, Ayah pergi ke kamar. Tak lama Bunda menyusul.
Yipi Yipi Yipiye!!!! Aku bersorak dalam hati. Untuk amannya, aku menunggu lagi selama lima menit. Lalu pelan-pelan aku menyelinap ke dapur.
Syukurlah, masih tersisa dua buah es pelangi di dalam kulkas. Aku segera memakannya. Aneh, rasanya tidak seperti biasa, hampir tidak ada rasa. Meski es rasanya dingin, tapi aku merasa tenggorokanku kepanasan setiap kali menelan es itu.
*
Pagi harinya aku mendengar suara yang bising menusuk telinga. Ku coba paksakan tuk membuka mata. Lambat-lambat kulihat Bunda menatap tajam kepadaku sambil menggoyang-goyang bungkus es pelangi di hadapanku. Aku rupanya lupa membuang bungkus tersebut semalam. Bunda sepertinya akan marah, tapi muka Bunda berubah ketika tangannya meraba keningku. Aku tak mendengar jelas yang dikatakan Bunda, karena kepalaku terasa semakin sakit. Selanjutnya aku tak tahu apa yang terjadi.
Ketika aku membuka mata, aku sudah di ruangan yang aku tidak kenal. Tangan kiriku tak bebas bergerak. Ada selang kecil yang panjang keluar dari tanganku dan berujung pada sebuah botol berisi air yang digantung di sebuah tiang besi. Bunda berada di sampingku. Tangannya mengelus-elus kepalaku. Aku tidak suka kepalaku dipegang-pegang. Tapi aku tidak keberatan bila Bunda yang memegang.
Aku masuk rumah sakit selama tiga hari. Dokter yang menjagaku bernama Dok-dok. Ia sangat lucu. Ia memakai baju putih yang kebesaran dan di lehernya tergantung penutup telinga yang diujungnya terdapat besi bulat. Setiap kali datang, Dok-dok memakai penutup telinga dan menempelkan ujung besi bulatnya ke dadaku. Rasanya enak, dingin. Kata Dok-dok, alat itu namanya setestoskop. Gunanya untuk mendengar suara jantung. Keren ya, aku baru tahu kalau jantung bisa bicara!!!
Tadinya aku pikir Bunda akan memarahiku soal es pelangi. Saat Artum-Tum mengunjungiku bersama Ayah, Artum-Tum makan es pelangi di hadapanku. Aku sudah sangat khawatir Bunda akan ingat aku sudah melanggar larangannya makan es pelangi. Tapi hingga aku pulang dari rumah sakit, Bunda tak pernah membicarakannya. Aku sendiri sejak kejadian itu tidak lagi memasukkan es pelangi ke daftar kesukaanku. Aku tetap suka makan es pelangi. Tapi kini aku tahu dan mengingat baik hal berikut:
Es pelangi dan Ngus-Ngus Nakal bukan sahabat baik.
*