Sabtu, Juli 31, 2010

Aku Mendekati Mimpi

seakan ada listrik di udara
aku bahkan dapat mendengarnya


embun subuh di rumput dan daun dalam perjalanan berangkat ke sekolah
bergerombol menyusuri jalan pulang bersama teman smp
cinta pertama gadis bali bermata sendu
patah hati yang pertama
menjadi alien di sma
patah hati kedua
seakan sinyal untuk tujuh patah hati berikutnya
bolak balik depok bogor untuk kuliah sambil bekerja
tawa renyah teman-teman kos
tidur satu ranjang yang sempit dengan sahabat
menyandang status penghuni gelap tetap
sepatu bekas yang dibeli di pinggir rel
sepatu pertama untuk interview kerja yang pertama
dasi untuk interview pertama
penolakan kerja pertama
menyusul lusinan kegagalan berikutnya
pekerjaan pertama
berkeringat ekstra joss dan lutut yang gemetar membongkar barang satu kontainer
senyum pelanggan yang puas
makian mereka lebih ganas
motor pertama
motor bekas kredit 2,5 tahun lamanya
warna putih cat dinding rumah sendiri
meski seukuran lebih besar sedikit dari pos security
meski butuh lima belas tahun waktu untuk melunasi


selangkah demi selangkah
aku mendekati mimpi


dulu aku bercita-cita, tapi tak terpikir akan bisa meraihnya
tapi kini sedikit demi sedikit
aku membangun jembatan bata
Meski masih jauh nyata dari angan-angan
Tapi aku tahu,
suatu hari nanti aku kan menaiki tribun juara
bersama pejuang mimpi lainnya

Pasti Ku Tunggu Pagi

Kulihat senja di wajahmu
Dalam wujudnya yang paling biru
Aku tahu, tak dapat kau menipu
Gadis,
 kau di mabuk rindu

Kau perbaiki letak kerudung
Seolah menepis awan mendung
Aku tahu, meski pandai bersandiwara
Gadis,  di hatimu
kecamuk cinta sedang meraja

Sini, biar ku panggilkan taksi
Dan seperti biasa engkau bidadari
Berlari meniti pelangi.  Pergi
Gadis,
Ku relakan kau pergi

Akan ku telpon engkau setiba di rumah
Basa basi memastikan kau tak bingung arah
Lalu di ujung percakapan ku selipkan janji
Gadis,
 pasti ku tunggu pagi
saat kau sendiri lagi

Bila pagi itu tiba
Ku kan kembali mencoba

Jumat, Juli 30, 2010

Selamat Ulang Tahun, Bidadari

selamat ulang tahun, bidadari

semoga hidupmu dipanjangkan dalam hari-hari yang indah dan menakjubkan
seperti rombongan sirkus kecil yang berkelana dari kota ke kota


semoga namamu selalu didengung-dengungkan oleh malaikat rupawan bersayap putih
dalam doa panjang yang syahdu


semoga kau selalu dianugerahi seutas senyum manis di wajahmu
meski apapun kesulitan yang kau hadapi


semoga cinta murni menjadi hal terakhir sebelum kau menutup mata tuk tidur
dan menjadi hal pertama saat kau bangun membuka mata


semoga kupu-kupu dalam dirimu selalu dapat menemukan keindahan dan manis madu
mengenali bunga dalam taman kehidupan


semoga engkau selalu diliputi berkah dan kebaikan Tuhan
seperti matahari melumuri langit pagi tepi pantai dengan cahaya keemasan

Selasa, Juli 20, 2010

Rindu Ini Padamu

dik, rindu ini padamu
adalah gerimis malam hari, di kesempatan pertama selepas senja
saat aspal basah memantulkan sinar lampu aneka warna
sehingga jalan raya seolah bentangan cahaya terentang hingga nirwana


dik, rindu ini padamu
berupa dendang angin menyapu lembut kepala
memperdengarkan nada-nada purba yang terperangkap di cangkang kerang raksasa
cerita tentang samudera dan kemegahan birunya


dik, rindu ini absurd
serapuh bayangan dirimu
di genangan air ingatanku yang tua
yang pecah digilas
mobil melintas


seperti empedu
rindu ini melekat padaku, pahit dan beku

Jumat, Juli 16, 2010

waktu yg akan menumbuhkan cinta












waktu yg akan menumbuhkan cinta

lewat pandangan mata
kata-kata apa adanya
senyum yg mengalir dari hati
tulus dan mau mengerti

percayalah, waktu akan menumbuhkan cinta

seperti matahari yang menumbuhkan asa
dan pagi yg mengabarkan bahwa
hari ini, seburuk apapun yg kau hadapi
semua bisa kita lewati

bersama

waktu akan menumbuhkan cinta
tapi siapa yg akan menumbuhkan rambut saya?

hehehehe


Jumat, Juli 09, 2010

PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA

Sabtu malam. Udara menggigit tulang, hembuskan napasnya yang dingin menusuk. Bajuku sudah tiga lapis. Aku mengepakkan tangan, mengumpulkan energi. Ada janji yang harus dilunasi.


Seperti biasa, seperti minggu-minggu sebelumnya, aku bergegas menerobos malam yang abu-abu karena dipadu sinar lampu jalan keemasan. Keluar pintu pagar aku mengambil jalan ke kiri, terus hingga ke pertigaan. Dengan sekali lompat, aku memasuki sebuah warung kopi.


Dia sudah disitu. Seperti biasa, tepat di depan rak berdinding kaca, tempat pisang goreng, tahu goreng, tempe goreng dan kadang-kadang tape goreng. Mungkin biar mudah baginya untuk mengambil salah satu, pikirku. Kenyataannya, dia memang selalu mengemil gorengan tersebut selama percakapan intim kami.


PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA. Begitu aku menyebutnya. Selalu pada jam-jam segini, lewat sedikit dari pukul satu. Saat acara di tivi cuma mengisi background ruang pandang. Jika bukan film Hollywood kelas dua, acaranya tak jauh dari kuis tak penting yang dipandu wanita cantik bersuara mendesah dengan busana minim. Pengunjung warung kopi hanya satu dua. Biasanya tukang ojek yang mangkal di pertigaan, atau bujangan yang pulang kemalaman, atau suami yang bosan dengan masakan istrinya.


Jadi kawan… memang sudah cukup kondusif untuk sebuah PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA.


Ia melirik arloji di tangannya. Kebiasaan yang tak perlu menurutku, toh ada jam dinding tepat di depan matanya. Meski begitu, itu adalah pertanda ritual intim antara kami dimulai. Berikutnya – yang juga bagian dari upacara ritual intim ini – adalah memesan makanan. Aku yang biasanya yang memulai. Aku memesan mie rebus tante. Artinya mie instan tambah telor dan potongan sawi hijau. Berikut adalah gilirannya.


“Biasa…!” katanya lirih tapi menggema di seluruh sudut ruangan. Gayanya begitu dramatis. Sambil berkata begitu ia menggeser sedikit posisi topi di kepalanya. Penjual warkop sudah paham. Kopi hitam, gula setengah sendok plus sejumput garam. Efektif menahan kantuk, begitu katanya saat pernah kutanya.


“Apa kabar?” sapanya. Matanya tak beranjak dari bibir gelas seolah memantrai ramuan ajaib kopi hitamnya itu.


Bila pertanyaan adalah sebuah makanan, maka pertanyaannya itu makanan yang sudah basi.  Dan jawabanku selalu sama seperti yang sudah-sudah. Apapun kondisiku di hari sabtu itu, kejadian dahsyat sedahsyat-dahsyatnya atau malah tawar hambar seperti air, aku selalu menjawab, ”aneh, seperti kopimu.”


Tak banyak yang kuketahui tentangnya. Dari uraian penjual warkop saat kuinterogasi di siang hari, kawanku dalam PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA itu adalah seorang salesman alat-alat kesehatan. Saban hari ia berkeliling perumahan mewah menawarkan produk dari pintu ke pintu.


Aku mengenalnya dua bulan silam. Aku tak tahu siapa yang mulai menyapa. Tahu-tahu kami sudah terlibat dalam sebuah percakapan, yang menurutku adalah percakapan yang paling tidak penting sedunia.


“Tujuh belas.” katanya.


“Hmmm… aku tak tahu.”


Tujuh belas pasangan artis yang cerai dalam setahun ini.” Dia mengangguk-angguk menerangkan.


“Luar biasa.” Sahutku.” Berarti sebulan minimal satu pasang artis bercerai.”


“Bila rata-rata punya dua anak, berarti ada tiga puluh empat anak calon orang stress, calon maniak pembunuh sadis berkepribadian ganda akibat broken home.”


“Ho oh.” Aku mengamini.


“Sembilan.” Giliranku menyebut angka.


“Sembilan kali kau kentut selama kita disini?” tebaknya.


“Bukan, itu enam kali. Sembilan kali bosku menelponku sepanjang hari.”


“Biasa saja.” Ia meremehkan.


“Itu karena kau tak tahu bosku. Dia menelpon cuma kalau ada masalah. Dan setiap kali pasti disertai dengan caci maki yang murah hati. Seluruh hewan yang ada di kebun binatang, tak ada satu pun yang luput diabsennya”


“Wah, pasti bikin senewen.” Ia bersimpati.


“Bukan main. Rasanya seperti sembilan kali ditembak mati.” kataku.


“Tiga.”


“Tiga kali terpeleset di WC?” giliranku menebak.


Dia menggeleng. Menang. “Tiga kali aku menambal ban motorku hari ini. Tiga kali paku sebesar pensil sukses merobek ban dalam. Tiga kali hanya untuk sekali perjalanan dari rawamangun ke cililitan lewat by pass.”


“Gila!” aku memekik,” Penjahat. Tak punya otak. Mengambil untung dengan menebar paku sama saja seperti vampir.”


“Memang gila!” dia setuju, melampiaskan rasa kesalnya dengan membantai pisang goreng yang ke lima.


“Lima.” Kataku misterius.


“Apa?” tanyanya, menyerah sebelum mencoba. Tak urung ia melihat kilatan nakal di mataku.


“Lima pisang goreng yang kau makan sejauh ini.” Kataku penuh kemenangan. Ia hening beberapa saat , lalu..


“Salah. Enam.” Katanya sebal sambil menyorongkan pisang goreng ke enam ke dalam mulut.


Duhai kawan, PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA ini akan berhenti tepat pukul dua. Kami akan saling mengangguk tipis satu sama lain, lalu beranjak pulang tanpa ucapan selamat-tinggal atau sekedar sampai-jumpa-lagi. Namun seolah telah mengikat perjanjian gaib, seminggu kemudian aku menemuinya lagi, di tempat yang sama, mengulang ritual yang sama, memesan makanan yang sama. Lalu saling melontarkan angka-angka. Tugas yang lain adalah menebak maksud angka tersebut. Sejauh ini, belum ada yang berhasil menebak angka yang lain.


“Tujuh.” Katanya. Kuperhatikan ia sering memberi tebakan angka-angka ganjil.

“Tujuh kali ke kamar kecil dalam sehari?”


“ Bukan. Sudah tujuh wanita yang aku tembak. Dan tujuh-tujuhnya menolakku.”


“Kenapa? Kau tidak jelek-jelek amat.”


Ia mengedikkan bahunya.


“Tragis.” Aku berkomentar.


“Tujuh.” Kataku. Ia melirikku. Curiga. Selama ini belum pernah kami membalas tebakan dengan memberikan angka yang sama.


“Tujuh bidadari Joko Tingkir?”


Aku menggeleng puas.


“Tujuh wanita yang sudah kau tembak, seperti aku.”


“Salah, terbalik. Tujuh wanita yang sudah menembakku. Tujuh-tujuhnya kutolak.”


“Sialan.” Ia menyerumput kopinya dengan kesal. Aku tak tahu, apakah karena salah menebak, atau keki dengan peruntunganku.


Dalam permainan ini tak ada aturan yang jelas mengenai angka. Terkadang angka tentang pencapaian sesuatu dalam waktu tertentu. Kadang jumlah sesuatu yang tidak lumrah. Terkadang rata-rata sebuah aktivitas yang tidak lazim. Namun seolah ada perjanjian gaib. Kami tak pernah menyebut angka desimal.

Satu yang kuperhatikan, ia sepertinya berusaha keras memberi aku tebakan angka-angka yang hebat, seperti data-data keuangan, rekor-rekor dunia, atau hasil penelitian terbaru. Aku yakin ia mempersiapkan matang-matang setiap tebakannya, mungkin pergi ke internet atau ke perpustakaan.

Misalnya waktu itu ia berteriak lantang, DUA. Ternyata itu hasil penelitian yang menyatakan dua dari tiga pria beristri pernah berselingkuh. Atau lima belas. Untuk lima belas orang yang masuk ke dalam mobil vw yang tercatat dalam buku rekor dunia.


Sementara tebakanku biasanya sangat remeh, cenderung tak penting.


Malam ini acara tivi memulu menampilkan berita kematian seorang mantan presiden. Aku mengerutkan diri di atas bangku panjang di pojok biasa aku duduk, di balik kaleng krupuk berwarna hijau.


Malam ini aku mencium bau-bauan yang berbeda. Bukan parfum atau bau tubuh. Tapi lebih seperti insting spiderman. Seperti bau-bauan di udara sebelum badai hebat. Dari sudut mata ku melihat ia menekuni gelasnya. Dan betapa tercengangnya aku. Gelasnya bukan berisi kopi hitam ajaib seperti biasa. Tapi teh manis hangat. Teh celup lagi, bukan teh tubruk.


Hari ini ia yang memulai permainan. Ia melemparkan sebuah angka. Aku menebak. Salah. Dia mengangguk puas. Aku melepaskan sebuah angka. Membalas. Dia menebak. Salah. Aku tersenyum dua tingkat, karena seperti biasa, angkaku adalah angka-angka remeh yang tak diduganya, tapi sebenarnya dekat dengannya. Angka-angka seperti:


Empat botol saus.


Tujuh puluh delapan, usia mantan presiden mulia tutup usia.


lima puluh dua minggu dalam setahun.


dua belas tusuk gigi yang tersisa di botol tusuk gigi di hadapannya.


Delapan buah tahi lalat di wajahnya.


Dan mukanya semakin kelabu.


“Sebelas.” Kataku lagi. Sebentar lagi pukul dua. permainan akan selesai. Ini tebakan pamungkasku. Pasti akan memukulnya dengan keras. Aku cepat-cepat menghapus senyum jahil dari wajahku.


Namun tak seperti biasanya, malam ini ia memandangku. Menatapku kuat-kuat. Matanya yang sipit tipis itu seperti pisau pembunuh berantai. Aku merasa sedikit takut.

Lama berselang, tiba-tiba ia tertawa. “Hahahahah.” Keras sekali, sampai-sampai cicak yang menempel di poster trio macan jatuh terkejut.


“Kenapa tertawa?” aku semakin bingung.


Dia tidak menjawab, malah menatapku kian kuat. Tak sadar tubuhku menggeletar oleh sensasi horror yang menyelimuti aura wajahnya. Tak biasanya ia begini.


“Kau pikir aku bodoh.” Katanya lirih penuh perasaan. Entah kenapa seperti suara reruntuhan.


Mulutku terbuka, tak siap dengan reaksinya.


“Kau pikir aku bodoh, hah?” ulangnya, kali ini dengan suara menggelegar. Penjaga warkop meloncat terkejut, bangun dari tidurnya.

“Aku memang tak berpendidikan. Cuma lulus SD. Menulis pun payah. Tapi aku bukan orang bodoh. Kau pikir aku tak tahu kau permainkan. Kau pikir mentang-mentang lulus S1, sarjana, kau boleh merendahkan orang lain.”


“Kuberitahu ya bung, aku lebih pintar dari kau. Tak ada gelar-gelaran. Titel. Embel-embel sialan."


"Yang penting itu pengalaman", teriaknya, "Kemampuan menjual. Memberi keuntungan buat perusahaan. Bekerja dua belas jam sehari, tujuh hari seminggu. Jadinya yang berhak naik jabatan itu seharusnya aku, bukan anak kemaren sore, masih bau kursi kuliahan sok tau yang tahu-tahu jadi supervisor, jadi manajer.”


“aku sudah berjuang. Dua belas tahun aku mengabdi. Lima tahun berturut-turut meraih predikat Penjual Terbaik. Pemegang rekor kunjungan tiga puluh delapan rumah dalam sehari. Menyumbang empat puluh satu persen penjualan dalam sebulan. Nol hari cuti. Bekerja nyaris tujuh hari seminggu. Tapi mana? MANA?. Selamanya aku jadi bawahan.


Jadi kuli. Jadi KOTORAN KUCING!! JADI ANGKA-ANGKA!!!”


Napasnya berkejaran. Matanya menatap garang. Ia diam beberapa saat, tapi badai belum berlalu. Aku menanti, takut dan panik.


“Sebelas katamu. Aku tahu, aku bisa menebaknya. Sebelas adalah untuk jumlah pertemuan kita hingga malam ini.”


Aku tercengang. Takjub. Bagaimana dia bisa menebaknya?


Dengan dramatis, ia menggeser sedikit topinya, tersenyum penuh kemenangan melihat raut wajahku yang tak bisa berbohong. Ia merapatkan ujung-ujung jaketnya lalu beranjak keluar.


Dan itu adalah pertemuan terakhir kami. Akhir riwayat PERCAKAPAN ANGKA-ANGKA.


Dan aku bahkan belum tahu namanya.


Tapi toh itu biasa, tak penting. Di kota besar seperti Jakarta, kota dengan nurani setipis kertas dan bisa dibeli dengan kartu kredit, nama tidaklah penting.

Yang terpenting adalah angka-angka.

Tivi Kardus Langit Biru

Ada perayaan kecil. Mas Kar sudah membeli es batu. Nunik memecahnya kecil-kecil dengan batu ulekan, lalu dimasukkan ke dalam seteko besar teh manis. Kacang goreng dua plastik penuh. Tidak lupa keripik singkong, yang ini favoritnya Ucep. Semua lalu berkumpul di ruang depan. Mama duduk di tengah, seperti Ratu Kerajaan Antah Berantah akan membuka pesta mewah kerajaan tujuh hari tujuh malam.


Ihwal perayaan ini sederhana saja. Bu Batur yang penjual gado-gado saban hari di depan gereja, tadi pagi ujug-ujug mendatangi Mama. Anak perempuannya yang paling besar usia kelas enam SD ikut menemani. ”Ayo dong, Tante. Saya lagi butuh uang.” mohon Bu Batur memelas. Di atas paha anaknya yang kurus terletak sebuah bungkusan besar. Bocah tanggung itu memeluk bungkusan itu seperti memeluk boneka yang paling disayang.


”Berapa?” tanya Mama.


”Empat ratus.”


“Hiyy. Mahal. Dua ratus.” Mama bahkan tidak melihat ke bungkusan itu.


Induk dan anak itu saling pandang. ”Jangan Tante, belinya aja enam ratus.”


”Sudah, saya juga tidak butuh. Mau ditaruh dimana? Lagipula juga sudah rusak.” Mama tak berpaling dari jahitannya.


“Engga kok, Tante. Masih bagus. Baru tiga bulan.” tukas Bu Batur kian memelas.


”Dua ratus.” kata Mama lagi. Bu Batur mengusap rambut anak perempuannya. Lalu mengangguk.


Dan kini, di atas lemari yang sebelumnya rak sepatu, telah nangkring dengan gagah, sebuah televisi berwarna 14 inci. Tivi itulah yang tadi pagi dijual Bu Batur. Mama kini memegang remote. Dagunya sedikit terangkat. Tanpa suara Mama membanggakan keahliannya tawar-menawar tadi pagi.

Blasssss.”Horeee!” semua serentak bersorak saat Mama menekan tombol On. Tivi itu berpendar-pendar indah. Ucep mencomot keripik singkong.  Matanya tak beralih dari tivi. Nunik menyandarkan kepala ke pundak Mama. Seulas senyum pepsodent terukir di bibirnya. Mas Kar mengintai remote di tangan Mama. Sebentar lagi siaran langsung sepakbola nasional. Pikirannya sibuk merancang makar untuk merebut remote dari kekuasaan Mama.


Okeh, ini aneh. Terkesan membesar-besarkan masalah sepele. Tivi itu sudah seperti barang pokok. Biasa saja, seperti beras atau udara. Jadi tak perlu didramatisir seperti ini. Biasa saja, dong!


Tapi bayangkan jika seumur hidup anda sudah akrab dengan kotak ajaib ini, lalu tiba-tiba, desss... dia hilang. Pergi. Menghilang. Kabishhhh. Selama sembilan bulan lebih hidup anda terpisah dari keajaiban teknologi dunia modern itu. lalu, apa yang akan anda lakukan? Bagaimana anda mengisi kekosongan itu? Bagaimanaaaa.... Katakan!. KATAKAAAAAAN!!!!


Sembilan bulan lalu kami terakhir memiliki tivi di rumah. Tivi yang diduga keras buatan taiwan itu, melayani kami seperti sudah berabad-abad. Tombol on-off nya sudah hilang. Begitu pula tutup panel tivi di bagian bawah. Jangan ditanya remotenya, sudah lenyap sejak lama. Untuk menaik-turunkan volume suara, diperlukan sebuah tang untuk menjepit dan memutarnya. Sungguh, di hari-hari akhir hayatnya, tivi tua itu tampak seperti sosok pahlawan perang dengan luka tembak di sana-sini.


Begitu pun, kepergian tivi itu bukan tak diduga sebelumnya. Suatu hari, tivi tua itu mati tiba-tiba. Nunik mencoba menghidupkan kembali. Ada 30 detik sejak tombol on dinyalakan hingga gambar muncul. Gambarnya tak langsung jelas. Diiringi suara gemerisik keras, butuh jeda berapa saat sebelum gambar tampil utuh. Seiring bertambah hari, jeda itu juga semakin bertambah lama. Dan tepat tanggal 9 Oktober 2009, saat kami sedang asyik-asyiknya menonton siaran langsung pemilihan putri Indonesia, tivi itu mati mendadak. Dan tak hidup lagi untuk selamanya. Diiringi kepulan asap putih dan teriakan panik seisi rumah, jadilah hari itu sebagai hari terakhir dari sebuah pelayanan panjang sang tivi pejuang.


Semuanya bersedih. Tivi tua itu telah menjadi bagian hidup keluarga, seperti saudara. Nunik bahkan membuat sebuah puisi perpisahan yang didekasikan untuk Sang Tivi tua itu. Puisi yang apik, heroik, lugas dan menggetarkan hati itu berbunyi:


Tivi..
Aah..
Kau
mati..


Tampak jelas bahwa Nunik di masa mendatang mempunyai potensi besar sebagai the next pujangga besar Indonesia.


Intinya, tivi itu penting. Sampai-sampai kami mengadakan malam perpisahan dan prosesi pemakaman di halaman belakang rumah. Okeh, sebenarnya tempat sampah belakang, tapi tetap kami memberi penghormatan yang layak. Setiap pahlawan berhak mendapatkan penghormatan terakhir, bukan?


Sebenarnya tivi kan bukan barang mewah. Lima ratus ribu perak sudah bisa beli. Mas Kar, dan aku sudah bekerja. Tapi meski begitu penghasilan kami sekeluarga hanya cukup buat makan, kontrakan, listrik dan bayar biaya sekolah Ucep dan Nunik.

*


Aku punya sebuah teori, tentang hirarki kekuasaan di dalam keluarga. Pemegang kendali di sebuah keluarga dapat dilihat dari siapa yang memegang kendali remote tivi. Dalam hal ini, jika Mama memegang remote, tak ada yang secara frontal berani mengambil remote dari genggamannya. Yang lain harus puas ikut menikmati sinetron favorit Mama, atau silahkan tidur saja. Posisi kekuasaan selanjutnya terletakdi tangan Mas Kar yang hobi nonton bola. Lalu aku, baru kemudian Ucep. Nunik si bungsu biasanya sudah cukup puas dengan acara apapun yang dipilihkan. Dasarnya juga dia bukan tipe pilih-pilih. Tapi meski begitu jangan salah: dialah pemegang kekuasan tertinggi di rumah. Dia punya semacam senjata ampuh sakti mandraguna. Bila ia sedang ingin menonton suatu acara, tapi yang lain tak mau mengubah channel, maka cukup dengan sekali merintih dan pasang muka sendu, yang lain reflek takluk mengangsurkan remote kepadanya.


*


Kini sudah seminggu lebih ruang tengah kami bercahaya lagi. Ritme keluarga yang dulu meredup karena tak ada hiburan, kini hidup kembali. Nunik yang paling senang. Pulang sekolah ia tidak lagi bengong mematut-matut radio butut peninggalan papa. Malam hari mama memantau kondisi terkini sinetron Cinta Fitri. Kalau beruntung, Ucep mengalihkan perhatian Mama dan mengubah saluran ke acara musik. Mas Kar kemarin tidak bekerja, kesiangan. Rupanya setelah sekian lama tidak menonton tivi, matanya belum terlatih lagi untuk begadang menonton siaran langsung sepak bola.


Aku baru selesai berganti baju sepulang kerja., ketika Nunik tiba-tiba masuk kamar. Dia duduk di tepi kasur. Wajahnya sedikit meringis, mata sendu. Aku segera waspada, karena Nunik sedang mengeluarkan senjata ampuh sakti mandragunanya. Aku diam, tahu bahwa sebentar lagi ia akan meminta sesuatu yang tak akan ku tolak. Meski begitu aku tetap terkejut mendengar permintaannya. Hampir saja aku meneteskan air mata. Buru-buru aku mengangguk, lalu ku peluk adikku itu dalam-dalam.


Besoknya kegaduhan luar biasa terjadi. Ketika pulang dari konveksian tempatnya bekerja, Mama kaget bukan kepalang. Tivi hilang. Lemari bekas rak sepatu tempat tivi semula berada, kini telah kosong plong. Mama berteriak-teriak memanggil Nunik. Histeris. Tapi Nunik tak ada. Tak lama setelah pulang sekolah, ia berangkat lagi, tak bilang mau kemana.

Untunglah Mas Kar pulang lebih cepat dari biasa. Ia menemukan Mama terduduk lemas seperti kehabisan napas. Buru-buru Mas kar membuat segelas teh manis anget. Setelah wajah Mama berdarah lagi, Mama berkata parau, “ Tivi kita Kar. Tivi ilaaang, tivi ilaaaang!” Tak kepalang Mas Kar terkejut. Karena panik melihat kondisi Mama, ia tidak ngeh tivi sudah tidak ada di tempatnya. Tapi yang paling dramatis justru Ucep. Masih lengkap dengan tas dan sepatu sepulangnya ia dari kampus, Ucep kontan berteriak heboh setelah tahu tivi hilang. “Naaaaaaiiiiiiiif!!” teriaknya, lalu jatuh pingsan. Usut punya usut, rupanya malam ini ada siaran langsung pertunjungan musik grup band favoritnya.


Selepas isya aku tiba di rumah. Mama, Mas Kar dan Ucep sudah menunggu di depan pintu. Tatapan mereka menuduh. Mas Kar maju, “Tivi hilang, kau tahu kemana hilangnya?” Mama membuang muka. Ada semburat luka di wajah tuanya.


Tak jelas lagi perasaanku. Aku tahu mereka menuduh aku mengambil tivi itu. Kesal, marah, sedih, dan menyesal jadi satu. Aku tak menyalahkan. Tiga tahun lalu aku kecanduan obat terlarang. Kuliahku berantakan. Satu per satu barang di rumah ku jual diam-diam. Bahkan kalung emas Mama. Saat keluargaku tahu, mereka sedih sekali. Mama sampai jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit dua minggu. Barulah aku sadar. Berhenti total. Tapi meski aku sudah bersih sekarang, rupanya luka itu belum hilang di hati mereka.


“Kau tahu kemana hilangnya?” tanya Mas kar lagi. Aku mengangguk. Mama langsung menangis. Histeris. Ia jatuh lemas dan dengan sigap ditangkap oleh Ucep. Mas Kar menarik kerah bajuku. Tapi tak ada kata-kata keluar. Cuma marah yang nyata di setiap sudut wajahnya. Aku diam. Cuma diam.


Jam delapan malam. Aku seperti pesakitan, duduk di tengah. Mas Kar, Ucep dan Mama mengelilingiku. Mama sekali-kali masih terisak. Selebihnya diam. Saat itulah Nunik pulang. Wajahnya sumringah, cerah. Tak urung ia tertegun melihat kami, melihat Mama terisak. Nunik mengikuti ekor mata Ucep ke arah Tivi yang kini tak ada lagi. Nunik paham. Pelan-pelan dia duduk bergabung. Matanya berkaca-kaca.


“Nanti Mas Kar beli lagi, Nun.” Bujuk Mas Kar, melihat tanda-tanda Nunik sangat kehilangan.


“Iya, nanti Mama beli lagi.” Kata Mama lirih.


Nunik mengusap matanya. “ Nunik minta maaf.”


“Iya, Mas Kar maafkan.” Hening sejenak, lalu... ”Lho, tapi maaf untuk apa?”


“Tivi.” Kata Nunik.


“Tivi?” trio Mama, Mas Kar dan Ucep serempak berucap. Bingung.


Gantian Nunik yang bingung. “ Iya, Tivi. Nunik minta maaf soal Tivinya. Abis Nunik merasa sedih. Mang Robi ga cerita?”


“Sedih?” kembali trio Mama, Mas kar dan Ucep bertanya dalam satu harmoni. Tak urung mereka menatapku.


"Nunik jual tivinya” lanjut Nunik.


“JUAL...?” kali ini trio tersebut berteriak kaget tujuh oktaf.


“Kamu yang jual tivinya Nun? Bukan Robi?” tanya Mama sambil memandang bergantian aku dan Nunik.


“Iya, memang Mang Robi yang jualin, tapi Nunik yang minta tolong.”


Mama, Ucep dan Mas kar memandangku. Minta penjelasan. Aku menarik napas. “Aku yang jualin. Tiga ratus ribu. Semalam Nunik minta tolong. Aku tak tega menolaknya. Jelasin atuh Nun, buat apa duitnya.”


Nunik meringis, lalu pasang muka sendu. Senjata ampuh sakti mandragunanya keluar. “Kemarin ketemu sama anaknya Bu Batur. Nina. Yang kemarin nemenin Bu Batur jualin tivinya ke kita. Iseng-iseng Nunik nanya, gimana sekolahnya, pinter ngga? Dia bilang, Nina sekarang sudah SMP. Tapi belum masuk. Uangnya belum cukup. Rupanya kemarin Bu Batur jual tivi buat biaya masuk SMP anaknya. Uang masuknya masih kurang dua ratus lagi. Nunik jadi sedih. Kasihan. Jadinya semalam Nunik minta mang Robi jual lagi tivinya. Lumayan, laku tiga ratus. Pulang sekolah Nunik ke tempat kerja mang robi, ambil duitnya, trus langsung ke rumah Bu Batur. Trus nemenin Bu Batur ke SMPnya Nina, bayar uang masuknya. Ada sisa seratus, Nunik beliin buku buat Nina.”


 Mas kar, Ucep, dan Mama ternganga. Mereka langsung memandang aku, minta maaf. Aku mengangguk.


“Nunik minta maap, ngga bilang-bilang. Takut pada ngga setuju.” Seperti yang sudah kuduga, senjata ampuh sakti mandraguna Nunik berhasil menaklukkan semuanya. Diam-diam aku mengamati Nunik, siapa tahu aku bisa mencuri senjata ampuhnya itu.


“ Tapi Nunik ga papa?” tanya Mama,” Nunik ga bisa nonton tivi lagi...”


“Ngga papa. Kan kata Mama, sekolah itu penting. Bagaimanapun caranya harus sekolah. Bagaimanapun caranya.”


Seakan tiba-tiba ada tsunami, kami tenggelam dalam haru. Kami baru tahu, di balik diamnya, Nunik memiliki hati yang lapang, selapang langit biru.


*


Ada perayaan kecil. Mas Kar sudah membeli es batu. Nunik memecahnya kecil-kecil dengan batu ulekan, lalu dimasukkan ke dalam seteko besar teh manis. Kacang goreng dua, bukan... tiga plastik penuh. Tidak lupa keripik singkong, yang ini favoritnya Ucep. Semua lalu berkumpul di ruang depan. Mama duduk di tengah,  seperti Ratu Kerajaan Antah Berantah akan membuka pesta mewah kerajaan tujuh hari tujuh malam.


Ihwal perayaan ini sederhana saja. Ucep membuat Tivi bohong-bohongan dari kardus. Pada layarnya ia memasang gambar artis Luna Maya, minus Ariel. Kami sekeluarga asyik menonton Tivi kardus itu. Meriah. Seru sekali. Seakan ada acara yang sangat heboh di tivi.

Aneh ya. Tapi bukankah tak ada yang lebih seru dibanding menonton tivi kardus dengan hati lapang seluas langit biru, bukan?